(19) Janji Yang Sudah Terucap

1.4K 173 24
                                    

Malam sudah cukup larut. Sehingga, suasana di rumah sakit saat itu pun berubah sepi karena seluruh pasien rawat rumah sakit pastinya juga sudah beristirahat di ruang rawat masing-masing dengan ditemani oleh sanak saudara mereka yang menjaga mereka selama mereka dirawat di rumah sakit. Namun, di beberapa lorong rumah sakit masih terlihat ada beberapa suster dan tenaga medis yang tampak masih berlalu lalang karena mereka mungkin baru sempat keluar untuk makan.

Di salah satu lorong rumah sakit yang lokasinya tak begitu jauh dari ruang ICU tempat Zein dirawat, Zafran dan dokter Tania tampak duduk berdua di salah satu kursi tunggu yang disediakan di sana sambil membicarakan sesuatu hal yang serius dan cukup mendalam.

(Author : Yah, ceritanya dokter Tania tuh lagi ngajakin deep talk gitu deh)

"Saya turut prihatin dengan kondisi Zein, pak," ucap dokter Tania pada Zafran.

Zafran hanya menganggukkan kepalanya mendengar ucapan dokter Tania. Kedua matanya terlihat sembab karena sudah beberapa hari ini sejak Zein dinyatakan kritis dan harus dirawat di ICU, ia menjadi banyak menangis. Sebagai seorang ayah, pastilah ia merasa sedih melihat kondisi putranya dalam keadaan seperti itu.

"Saya memang belum lama mengenal Zein, tapi saya yakin bahwa dia merupakan anak yang baik," ucap dokter Tania.

Mendengar dokter Tania menyebut Zein sebagai anak yang baik, membuat Zafran sontak berucap sesuatu dalam hati.

"Apa sebutan anak yang baik masih pantas diberikan untuk anak yang sudah tega menghilangkan nyawa ibu kandungnya sendiri?" batin Zafran.

"Kenapa Anda sepertinya peduli sekali dengan anak saya (Zein)?" tanya Zafran pada dokter Tania.

"Sebagai seorang dokter, sudah seharusnya saya peduli dengan pasien saya," jawab dokter Tania.

Keduanya lalu tampak saling diam sejenak, hingga beberapa detik kemudian barulah dokter Tania kembali memulai pembicaraan.

"Saya ingin tanya sesuatu hal pada Anda. Apa boleh?" ucap dokter Tania pada Zafran dan Zafran pun hanya menganggukkan kepalanya mempersilahkan dokter Tania untuk bertanya.

"Jika bisa diibaratkan, seberapa besar rasa sayang Anda kepada Zean dan Zein?" tanya dokter Tania.

"Kenapa Anda bertanya begitu? Sebagai seorang ayah, tentu saja saya sangat mencintai anak-anak saya," jawab Zafran.

"Jawab saja, untuk Zean seberapa? Dan untuk Zein seberapa?" tanya dokter Tania.

"Sama besarnya. Tidak ada yang kurang ataupun dilebihkan," jawab Zafran.

"Kalau memang benar cinta yang Anda berikan itu sama besarnya, kenapa di antara kedua putra Anda, hanya Zein yang mengalami gangguan mental setelah ditinggal mamanya pergi? Mereka itu kembar, kan? Kenapa Zean tidak mengalaminya juga?" balas dokter Tania.

"Tidak ada seorang anak yang akan baik-baik saja saat ditinggal mamanya pergi untuk selamanya, apalagi saat itu Zean dan Zein masih sangat kecil. Di saat-saat itu, mereka tentu sangat membutuhkan perhatian lebih dari Anda selaku satu-satunya orang tua mereka yang tersisa. Tapi apa Anda merasa sudah cukup adil dalam memberikan perhatian itu kepada mereka?"

Mendengar pertanyaan yang diajukan dokter Tania membuat Zafran terdiam. Bibirnya terasa kelu hanya untuk menjawab satu pertanyaan itu.

"Entah kenapa tapi saya berasumsi bahwa Zein sepertinya kurang mendapatkan perhatian," lanjut dokter Tania.

"Jika memang benar Anda telah memberikan perhatian Anda terhadap kedua putra Anda secara adil, mungkin Zein tidak akan mengalami gangguan mental seperti sekarang. Dengan mendapatkan pendekatan dan perhatian dari Anda, dia pasti akan bisa mengikhlaskan mamanya pergi seperti Zean yang sepertinya sudah berdamai dengan takdir mamanya,"

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang