(39) Mengurai Benang Kusut

839 110 17
                                    

Sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju pelan di malam yang tenang, membawa dokter Tania dan ayahnya menuju sebuah rumah besar di pinggir kota. Mereka baru saja tiba di depan gerbang rumah eyang, sebuah properti megah yang dikelilingi pagar tinggi dengan lampu-lampu kuning lembut menerangi area sekelilingnya.

Saat mobil berhenti tepat di depan gerbang, ayah dokter Tania menoleh ke arah putrinya. Dengan nada ragu, dia bertanya, "Ini benar rumah pasien kamu, Tania?"

Dokter Tania menatap daftar alamat yang dia pegang dan menjawab, "Iya, benar ini alamatnya, ayah. Ini sudah sesuai dengan alamat yang dikirimkan oleh keluarga pasien."

Ayahnya mengerutkan kening. "Anehnya, ayah merasa rumah ini agak familiar. Sepertinya ayah pernah ke sini sebelumnya. Mungkin ini rumah salah satu kolega bisnis ayah. Tapi ayah baru sempat beberapa kali bertemu di luar dan hanya pernah sekali datang ke sini."

Belum sempat dokter Tania menjawab, seorang petugas keamanan yang menjaga pintu gerbang mendekat dan membuka pintu gerbang dengan sopan. "Selamat malam, dokter. Silakan masuk."

Mobil mereka melaju masuk ke halaman rumah yang luas. Lampu-lampu sorot menerangi halaman besar itu, menyoroti fasad rumah yang elegan. Rumah eyang adalah bangunan megah berwarna putih gading dengan aksen coklat kayu pada jendela dan pintu. Taman di sekelilingnya didekorasi dengan berbagai tanaman hijau dan bunga yang rimbun, memberikan kesan asri meski malam sudah larut. Pagar di sekeliling rumah tinggi dan terbuat dari besi tempa, sementara lampu jalan di sepanjang jalan masuk menambah kesan mewah.

Setelah mobil berhenti di depan pintu utama rumah, dokter Tania dan ayahnya turun dari mobil. Begitu mereka menginjakkan kaki di halaman, seorang pembantu keluar dari pintu utama. Pembantu tersebut, mengenakan seragam rapi berwarna krem, menyambut mereka dengan senyum hangat.

"Selamat malam, dokter Tania. Selamat datang," ujar pembantu tersebut. "Silakan masuk. Bapak sudah menunggu di kamar atas."

Dokter Tania dan ayahnya mengikuti pembantu itu memasuki rumah besar yang berdesain klasik namun tetap terjaga kebersihannya. Mereka dipersilakan menaiki tangga menuju kamar Zein di lantai atas, tempat eyang menunggu.

Sesampainya di depan kamar, mereka melihat pintu kamar terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, mereka disambut hangat oleh perawat eyang yang berdiri di samping ranjang.

Di dalam kamar, eyang terlihat duduk di kursi roda, menggenggam tangan cucunya, Zein, yang terbaring lemah di atas ranjang dengan masker nebulizer di wajahnya. Zein tampak sangat lemas dan pucat. Melihat keadaan Zein, dokter Tania merasakan kekhawatiran yang mendalam, mengingat dia adalah mama angkat Zein dan sangat peduli pada kesehatannya.

Saat eyang menoleh ke arah dokter Tania dan ayahnya, eyang terlihat terkejut. Begitu juga dengan ayah dokter Tania, yang sebelumnya sudah merasakan bahwa rumah ini tidak asing, akhirnya mengetahui bahwa firasatnya benar.

Eyang kemudian berkata dengan nada terkejut namun ramah, "Selamat malam, dokter Tania. Dan, selamat datang juga, Pak Jonathan. Tidak menyangka kita bisa kembali bertemu di sini."

Ayah dokter Tania membalas dengan penuh kekaguman, "Pak Arifin? Ternyata rumah ini milik Anda. Dari awal saya sudah merasa rumah ini tidak asing, dan saya benar-benar tidak menyangka akan bertemu Anda di sini."

Dokter Tania membalas dengan sopan, "Selamat malam, Pak. Saya datang untuk memeriksa keadaan Zein."

"Jadi dokter Tania ini ternyata putri Anda, pak?" tanya eyang pada ayah dokter Tania.

"Betul sekali, Pak. Tania adalah anak perempuan saya satu-satunya," jawab ayah dokter Tania sambil tersenyum bangga.

Eyang lalu membisikkan sesuatu pada Zein, "Mama Tania udah dateng buat periksa kamu, Zein. Kamu tenang, ya. Semuanya akan baik-baik aja."

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang