Zein berbaring lemah di ranjang rawatnya, tubuhnya masih terlihat pucat dan rapuh. Saat itu, hanya sang kakek (Eyang) yang setia mendampinginya. Zein memang belum siap untuk bertemu dengan papanya, sehingga ia meminta agar hanya Eyang yang menemaninya selama masa pemulihannya. Karena Zein hanya ingin ditemani Eyang, Eyang pun akhirnya meminta perawat pribadinya yang saat itu ikut menemaninya menjenguk Zein ke rumah sakit untuk menunggunya di luar ruang rawat.
Eyang duduk di samping ranjang, memandangi Zein dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa beberapa hari ke depan, Zein masih harus menjalani pemasangan chest tube untuk membersihkan cairan gumpalan darah yang menyumbat paru-parunya. Kondisi Zein yang belum dapat dipastikan akan segera membaik, membuat Eyang semakin merasa cemas.
Perlahan, Zein membuka matanya, menatap Eyang dengan pandangan lemah. Eyang segera menggenggam tangan Zein, berusaha menyalurkan kekuatan dan ketenangan. "Sstt.. tidur lagi, Zein. Eyang ngga kemana-mana, kok. Eyang ada di sini nemenin Zein," bisik Eyang lembut.
Zein hanya mengangguk pelan, kemudian kembali memejamkan matanya, mencoba beristirahat. Eyang terus setia mendampingi, berharap kondisi Zein segera membaik dan ia dapat kembali pulih, meskipun di beberapa hari ke depan Zein masih harus melalui masa sulit karena harus menjalani proses pemasangan chest tube.
Eyang berharap, dengan dukungan dan kasih sayangnya, Zein dapat melewati masa-masa sulit ini dan kembali sehat seperti sedia kala. Eyang akan terus berada di sisi Zein, memberikan kekuatan dan semangat agar Zein dapat segera pulih.
Sementara itu, di luar ruang rawat Zein, terlihat Zafran tengah menatap sendu ke arah putranya yang sedang beristirahat. Hati Zafran terasa berat melihat kondisi Zein yang masih lemah dan pucat. Ia sangat ingin masuk ke dalam ruangan, menemani Zein, namun Zafran sadar bahwa saat ini Zein tidak ingin bertemu dengannya.
Zafran menyadari bahwa penolakan Zein terhadap kehadirannya adalah akibat dari kesalahannya sendiri. Selama ini, ia telah menyiksa Zein, membuat putranya itu merasa lelah dan terluka. Kini, Zafran memahami bahwa ini mungkin merupakan peringatan sekaligus teguran dari Tuhan untuknya.
Dengan hati yang berat, Zafran menyandarkan punggungnya di dinding, memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia menyadari bahwa sikapnya selama ini telah menyakiti Zein, membuat putranya menderita.
Zafran lalu membayangkan saat bagaimana dirinya selama ini telah tega menyiksa Zein dengan semena-mena. Salah satu kejadian yang masih ia ingat betul adalah saat satu tahun lalu di mana Zean dan Zein sedang berulang tahun.
Flash back on :
Kejadian itu berawal saat dirinya baru saja pulang dari restoran mewah bersama dengan Zean. Ia baru saja merayakan ulang tahun Zean bersama dengan opa dan oma sekaligus mengadakan acara makan malam di restoran mewah tersebut.
Di malam itu, Zafran dan Zean pulang ke rumah di waktu yang cukup larut. Saat mereka masuk ke dalam rumah, Zafran tampak bertanya pada Zean tentang kejutan yang telah ia berikan untuk Zean di restoran mewah tadi. Ia ingin mendengar apakah Zean merasa cukup senang dan bahagia dengan kejutan-kejutan mewah yang ia berikan untuk Zean.
"Gimana tadi kejutannya, Ze? Kamu suka kan sama kejutan kali ini?" tanya Zafran pada Zean sambil merangkul pundak Zean saat berjalan masuk ke dalam rumah setelah pintu rumah dibuka oleh bi Tatik.
"Suka banget dong, pa. Makasih ya pa kejutannya!" jawab Zean sambil tersenyum senang.
Zafran pun ikut tersenyum senang mendengar jawaban dari Zean. Ia merasa puas dan lega karena Zean ternyata menyukai kejutannya. "Syukurlah kalo kamu memang suka sama kejutannya, Ze. Papa ikut seneng dengernya," ucap Zafran sambil mengelus lembut rambut kepala Zean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...