(55) Surat Untuk Papa (BONUS CHAPTER)

789 58 8
                                    

Beberapa hari setelah keputusan sidang yang mengadili para pelaku, suasana penjara tempat Zafran dihukum tetap terasa berat dan penuh kesedihan. Meski Zafran telah mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya, rasa kehilangan dan penyesalan yang mendalam tetap membayangi hari-harinya. Suatu pagi, dokter Tania datang mengunjungi Zafran setelah mendapat izin dari pihak penjara untuk bertemu dengan Zafran.

Ketika dokter Tania memasuki ruang pertemuan, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara kecewa dan kemarahan. Dia duduk di kursi yang tersedia di depan Zafran, matanya tampak menahan amarah dan kepedihan. Zafran, yang melihat sikap dokter Tania, merasakan beratnya penyesalan dan kesalahan yang dia buat, membuatnya merasa malu dan tidak berdaya.

Dokter Tania lalu membuka tasnya dan mengeluarkan dua benda penting. Yang pertama adalah sebuah buku jurnal kecil, yang ternyata milik mendiang Yasmine. Dalam buku itu terdapat beberapa halaman yang dipenuhi surat-surat untuk Zafran dari Zein. Buku itu menjadi saksi bisu betapa Zein, meskipun mengalami penderitaan berat, tetap menyimpan kasih sayang dan harapan untuk papanya. Yang kedua adalah sebuah kotak kecil yang berisi liontin milik Yasmine, yang sebelumnya dicuri oleh Pak Harto. Dengan usaha yang tidak sedikit, dokter Tania berhasil mendapatkan kembali liontin tersebut setelah Pak Harto menjualnya. Dia tahu betapa berartinya liontin itu bagi Zafran, dan merasa perlu untuk mengembalikannya sebagai tanda penghargaan dan penghiburan.

Zafran menerima kedua benda tersebut dengan tangan bergetar, merasakan beban emosional yang berat. Dia menatap dokter Tania dengan penuh rasa terima kasih, meskipun dia merasakan kedalaman kekecewaan dan kemarahan dalam diri dokter Tania. Suaranya bergetar saat dia berkata, "Terima kasih, Dokter Tania. Meskipun saya tahu saya tidak pantas menerimanya, Anda masih menunjukkan kepedulian dan kemanusiaan di tengah semua ini. Saya sangat menghargai semua yang telah Anda lakukan."

Dokter Tania, dengan suara bergetar penuh emosi, berkata sambil menahan isak tangis, "Semua yang terjadi biarlah berlalu. Zein kini telah tenang, dan tidak ada gunanya menyesali semuanya lebih jauh. Namun, Anda harus ingat, Anda telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memiliki anak sebaik Zein. Dia adalah sosok yang luar biasa, dan Anda kehilangan segalanya karena kebencian dan kekerasan yang Anda berikan padanya."

Sambil meneteskan air mata, dokter Tania melanjutkan, "Jangan biarkan penyesalan ini menghancurkan sisa hidup Anda. Zein telah pergi, dan Anda harus menerima kenyataan itu. Jangan terus tenggelam dalam kesedihan dan rasa bersalah. Masih ada kesempatan bagi Anda untuk menebus diri dan mencari cara untuk memperbaiki hidup Anda. Jangan sia-siakan sisa waktu yang Anda miliki."

Air mata dokter Tania semakin deras, dan dia menatap Zafran dengan rasa campur aduk. Setelah selesai berbicara, dia berdiri untuk meninggalkan ruangan. Meskipun hatinya masih hancur karena kehilangan Zein, dia merasa lega karena telah menyampaikan apa yang dirasakannya kepada Zafran.

Ketika dokter Tania meninggalkan ruangan, Zafran masih duduk terpaku dengan buku jurnal dan kotak di tangannya. Dia membuka buku jurnal Yasmine dan mulai membaca surat-surat dari Zein. Setiap kata, setiap kalimat yang ditulis Zein, terasa seperti duri yang menusuk dalam-dalam. Zafran mulai menangis sejadi-jadinya, menyadari betapa besar kesalahannya dan betapa berartinya Zein dalam hidupnya. Penyesalan yang mendalam melanda dirinya, dan air mata tidak bisa lagi dihentikan.

Saat Zafran membuka surat pertama dari Zein, matanya mulai berkaca-kaca saat ia membaca kata-kata yang tertulis di kertas itu. Surat ini menggambarkan keinginan mendalam Zein untuk merasakan kasih sayang yang seharusnya ia terima dari seorang ayah. Setiap kata yang tertulis mengungkapkan betapa besar kerinduan Zein akan kehangatan dan cinta yang sering kali terabaikan dalam hidupnya.

Papaku yang tersayang,

Di setiap gemerlap bintang, aku menatap langit, mencari wajahmu yang tak pernah pudar dari ingatan. Namun, meski kau di sini, dalam ruang yang sama, rasa kehadiranmu bagai angin yang pergi begitu saja.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang