(29) Rencana Jahat Aslan

991 90 14
                                    

Hari telah berganti malam, dan Zean kembali ke rumahnya setelah mengunjungi Zein di rumah eyang. Keheningan menyelimuti ruang makan ketika Zean dan Zafran duduk bersama untuk makan malam. Meskipun aroma masakan yang menggugah selera menyelimuti ruangan, suasana terasa tegang.

Zean terdiam, fokus hanya pada piring makanannya di depannya. Pikirannya dipenuhi oleh kekecewaan dan amarah yang meluap-luap. Ia merasa kesal pada Zafran karena menyebabkan Zein pindah ke rumah eyang. Zean yakin bahwa perlakuan kasar dan kurangnya perhatian dari Zafran adalah alasan utama Zein tidak betah tinggal di rumah.

Zafran yang sadar akan ketegangan di ruangan, mencoba memulai percakapan. "Zean, kamu kenapa diem terus dari tadi?" tanyanya dengan lembut, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikiran putranya.

Zean menoleh ke arah Zafran, tatapannya penuh dengan kebencian yang terpendam. "Papa tau kok kenapa aku diem," jawabnya singkat, suaranya penuh dengan ketidakpuasan.

Zafran menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa Zean merasa terluka dan kesepian. "Zean, udah lah. Biarin aja Zein pergi. Dia udah milih jalan hidupnya sendiri. Jangan terus simpan amarah kamu ke papa. Dengan kamu diem kayak gini juga ngga akan buat Zein kembali," ucapnya dengan nada yang lembut namun tegas.

Namun, Zean hanya menatap Zafran dengan dingin, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Ia memilih untuk menyikapi situasi dengan diam, menolak untuk memperdulikan nasihat papanya.

Percakapan mereka terhenti, digantikan oleh suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring. Zean kembali membenamkan dirinya dalam makanannya, mengabaikan segala upaya Zafran untuk membuka jalan komunikasi di antara mereka.

Dalam keheningan yang menyelimuti ruang makan, Zean dan Zafran terus makan tanpa banyak kata. Kedua hati mereka dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakpastian tentang masa depan hubungan mereka. Namun, di balik semua itu, ada harapan kecil yang tetap menyala, menantikan keduanya untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan yang melingkupi mereka.

Setelah menghabiskan makan malam dengan suasana yang tegang, Zean meninggalkan ruang makan dengan langkah yang berat. Di kamarnya, perasaan kekecewaan terhadap papanya masih menggelayuti hatinya. Zean merasa terdampar dalam kebuntuan emosional yang sulit dipahami.

Sementara itu, di ruang makan yang sepi, Zafran duduk sendirian. Matanya tertuju pada kursi kosong yang biasanya diduduki oleh Zein. Rasa kehilangan membuat ruangan terasa semakin sunyi, dan kekosongan itu menyadarkan Zafran akan betapa rumahnya sekarang terasa sepi tanpa kehadiran Zein. Tatapan lembutnya kemudian beralih ke meja makan, di mana di sana ada paha ayam goreng kesukaan Zein masih tersaji.

Tiba-tiba, suara dari dalam hati Zafran bergema dalam keheningan ruangan. "Zein, papa kangen," gumamnya dengan lembut, sambil mengingat kembali momen-momen manis bersama putranya itu. Ia menyadari betapa kehadiran Zein memberikan warna tersendiri dalam rumah tangganya. Meskipun terkadang ada ketegangan dan kesulitan, namun cinta seorang ayah tidak pernah pudar.

Kemudian, pemikiran lain menyelinap masuk ke dalam pikiran Zafran. Ia menyadari bahwa meskipun rumahnya terasa lebih damai tanpa kehadiran Zein, namun hatinya malah merasa tidak tenang karena rindu akan kehadiran putranya itu. Ia merasa bersalah karena sering marah-marah pada Zein, tanpa menyadari betapa berharganya keberadaan Zein dalam hidupnya.

Dalam keheningan yang menyelimuti ruang makan, Zafran merenungkan perasaannya yang rumit. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk kedua putranya, namun seringkali kehilangan arah dalam melakukannya. Hatinya dipenuhi oleh kerinduan yang mendalam untuk melihat Zein kembali ke rumah, dan ia berharap bisa memperbaiki hubungan yang renggang dengan putranya.

Sementara di balik dinding dapur, bi Tatik, dalam diamnya merasa tersentuh mendengar suara Zafran yang mengungkapkan kerinduannya kepada Zein. Hatinya tersayat saat mendengar Zafran mengakui bahwa kehadiran Zein sangatlah dirindukan, terutama setelah kepergian Zein untuk tinggal bersama eyangnya.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang