(49) "Zein Pengen Tenang, Bi..."

772 109 15
                                    

Keesokan paginya, Papa, Oma, Opa, dan Zean masih berada di rumah eyang. Mereka semalam menginap dan kini mereka masih tengah mempersiapkan berbagai hal terkait acara duka, yang membuat rumah eyang menjadi ramai dengan tamu. Keberadaan mereka di rumah eyang menyisakan bi Tatik untuk menjaga Zein sendirian di rumah. Meskipun begitu, mereka semua sepakat untuk memberikan waktu bagi Zein agar bisa istirahat dan pulih. Namun, keadaan Zein rupanya semakin memburuk. Zein terbangun dengan perasaan yang semakin buruk. Badannya terasa semakin tidak sehat. Kepala yang pusing dan demam yang belum juga turun membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Meskipun semalam dia sudah meminum obat penurun panas yang disiapkan oleh bi Tatik, efeknya tampaknya tidak bertahan lama.

Zein menggeliat di tempat tidur, mencoba untuk duduk di tepi ranjang. Namun, setiap gerakan terasa sangat berat dan melelahkan. Tubuhnya terasa pegal dan lemas, seolah-olah seluruh energinya terkuras. Ketika dia berusaha untuk duduk, rasa sakit di tubuhnya membuatnya sulit untuk menjaga keseimbangan.

Rasa kedinginan menyebar di tubuhnya, dan dia merasa tenggorokannya kering serta napasnya tersengal. Kemudian, ketika dia akhirnya berhasil duduk di tepi ranjang, tiba-tiba dia mulai melihat sekelebat bayangan putih di sudut matanya. Awalnya dia mengira itu hanya halusinasi akibat sakitnya, tetapi bayangan itu tampak bergerak lembut seolah-olah ada sesuatu yang berkilauan dalam ruangan yang suram.

Zein memejamkan matanya, mencoba untuk memastikan apa yang dia lihat. Bayangan-bayangan itu seolah menghilang dan muncul kembali, memberikan perasaan yang aneh dan sulit dijelaskan. Rasa dingin yang semakin menyebar ke seluruh tubuhnya membuatnya semakin bingung.

Zein lalu bangkit dari tempat tidurnya dengan susah payah. Setiap langkah terasa sangat berat, seperti kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Ia merasakan kakinya menjadi kaku dan mati rasa, seolah-olah ia berjalan di atas permukaan yang tidak terasa. Rasa dingin dan kelemahan tubuhnya membuat setiap langkah terasa seperti bertarung melawan gravitasi.

Dengan penuh usaha, Zein perlahan bergerak menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terseok-seok dan hampir beberapa kali jatuh karena kakinya terasa tidak stabil. Setiap langkah yang diambilnya mengharuskan dirinya berpegangan pada dinding atau perabotan untuk menjaga keseimbangan.

Zein merasa seolah-olah ruang di sekelilingnya bergetar dan berputar, dan setiap upaya untuk melangkah semakin membuatnya merasa pusing. Sesampainya di depan pintu kamar mandi, ia terpaksa berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga untuk mendorong pintu dan memasuki ruangan kecil itu.

Setelah berhasil masuk ke kamar mandi, Zein berdiri di sana dengan tubuh bergetar dan kepala berdenyut, berusaha keras untuk menahan rasa sakit dan kelelahan yang kian meningkat. Ia berpegangan pada wastafel, yang terasa dingin di telapak tangannya, untuk menghindari jatuh. Kepalanya terasa sangat berat, seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar dengan cepat dan tidak menentu. Setiap gerakan membuatnya merasa seakan-akan ada beban berat yang menariknya ke bawah.

Suara-suara di sekelilingnya mulai terasa aneh. Berbagai bunyi di kamar mandi, seperti desiran air dari kran, detak jam, atau bahkan suara langkah kaki, terdengar samar dan terdistorsi, seolah-olah dia berada di bawah lapisan air yang tebal. Suara-suara itu datang dan pergi seperti gelombang laut, kadang dekat dan jelas, kadang jauh dan kabur. Suara yang biasanya jelas menjadi terputus-putus, bergema, dan teredam, membuatnya merasa terisolasi dari dunia luar.

Di tengah kebingungannya, Zein mulai kembali melihat bayangan-bayangan aneh di sudut-sudut pandangannya. Ada kilauan lembut yang bergerak perlahan, seperti bintang-bintang yang bersinar redup di dalam gelap. Bayangan-bayangan ini tampak melayang dan berubah bentuk, menari-nari di ruang yang semakin kabur di matanya. Ruang kamar mandi yang familiar kini terasa asing, dindingnya seakan bergerak perlahan seperti ombak di laut, dan lampu-lampunya tampak memudar dan bersinar tidak merata.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang