Malam itu, dalam keheningan gulita, Zein terbangun dari tidurnya yang dangkal. Suara napasnya terengah-engah, memenuhi ruangan gelap dengan irama yang tak menentu. Meskipun telah menggunakan nebulizer, napasnya masih terasa berat, seperti terperangkap dalam belenggu tak terlihat.
Dengan perasaan cemas dan gemetar, ia meraih masker nebulizer yang menutup mulut dan hidungnya. Tatkala masker itu dilepaskannya, angin malam yang dingin membelai wajahnya, sementara napasnya masih bergumam dengan suara mengi yang mengganggu. Bagai sebuah mantra yang menakutkan, suara napasnya menjadi pengiring kesendirian di malam yang sunyi.
Zein mencoba menenangkan diri dengan duduk di sisi ranjang dengan tubuh yang gemetar. Namun, rasa gelisahnya semakin memuncak, seiring dengan setiap tarikan napas yang terasa menyiksa. Tubuhnya yang rapuh terusik oleh serangkaian batuk yang tak kunjung mereda, memaksanya untuk menghadapi kegelisahan yang menghantui pikirannya.
Dengan tangan terhentak di dadanya yang bergetar, Zein merasa seperti terjepit di antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang tak pasti. Setiap helaannya diiringi oleh derap kekhawatiran yang semakin mendalam, menyatukan dirinya dengan gelombang kecemasan yang melanda batinnya.
Malam bergulir dalam keheningan yang semakin menghimpit. Zein masih terduduk di ujung tempat tidurnya, menyaksikan bayangan-bayangan gelap yang menari-nari di dinding kamar yang sunyi. Suara napasnya yang masih terdengar mengi, terasa semakin berat di dadanya yang sesak. Dalam kebingungannya, Zein mencoba mengingat pelajaran dari dokter tentang teknik pernapasan yang tenang. Namun, usahanya untuk menenangkan diri terasa sia-sia, seiring dengan napasnya yang semakin tidak teratur. Tubuhnya terasa gemetar, menandakan bahwa kepanikan sedang mengintai di sudut gelap pikirannya.
Diam-diam, ia meraba-raba ke sisi meja kecil di dekat tempat tidurnya, mencari inhaler penyelamatnya. Jari-jari gemetarnya akhirnya menemukan benda kecil tersebut, dan ia menggenggamnya erat, seolah menggenggam harapan terakhirnya. Tapi, pada saat yang sama, ketakutan yang tak terucapkan menghantui pikirannya. Takut akan serangan asma yang semakin parah, takut akan kelemahan yang melumpuhkan, dan takut akan kesendirian yang melanda di malam yang sunyi.
Zein menatap inhaler itu sejenak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam sebisa mungkin dengan paru-paru yang terasa begitu berat, lalu memasukkan inhaler ke mulutnya dan menekan tombolnya. Hembusan obat mengisi paru-parunya, memberikan sedikit kelegaan di tengah sesak yang mencekam.
Namun, rasa lega itu hanya sementara. Napasnya masih terengah-engah dan dadanya masih terasa berat. Ia menurunkan inhaler, tangannya bergetar, dan mendapati dirinya kembali diselimuti oleh rasa takut dan gelisah. Mata Zein berkaca-kaca, dan tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Perasaan kesepian dan putus asa menyergapnya, membuat malam yang sunyi itu terasa semakin mencekam.
Zein memejamkan mata, mencoba menahan isak tangis yang semakin tak terbendung. Rasanya seperti dunia runtuh di sekitarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, tangan yang satu masih menggenggam inhaler, sementara tangan lainnya menggenggam dadanya yang terasa semakin sesak.
Ia kemudian teringat pada Zean, kembarannya yang selalu ada untuknya. Dalam hatinya, ia berharap Zean ada di sana, menemani dan menenangkannya. Tapi kenyataan berkata lain. Zein harus menghadapi ini sendirian, di tengah malam yang dingin dan sunyi. Ia merasa terasing dan tidak berdaya, seolah-olah tidak ada yang bisa mengerti atau membantu mengurangi penderitaannya.
Zein meraih ponselnya yang sebelumnya ia taruh di samping bantalnya. Ia membuka layar ponsel dan melihat pesan dari kembarannya, Zean. Sebelumnya, ia mengirimkan pesan permintaan maaf pada Zean :
Ze, maafin gue ya tadi udah bikin lo khawatir. Makasih juga lo udah bantu gue panggil eyang ke kamar. Berkat bantuan lo, gue udah baik-baik aja sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...