Setelah bel sekolah berbunyi, Zein keluar dari kelas dengan langkah cepat. Di luar, sopir eyangnya menunggu di mobil. Zein segera masuk ke dalam dan duduk di kursi belakang, menghindari tatapan orang-orang di sekitar yang mulai memperhatikan bekas luka di wajahnya. Selama perjalanan pulang, Zein hanya duduk diam, menatap jendela, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Sesampainya di rumah, Zein turun dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Eyangnya, yang duduk di kursi roda, menunggu di ruang tamu. Melihat Zein dengan pakaian yang kusut dan wajah yang penuh luka, mata eyangnya penuh dengan kekhawatiran.
"Zein, kenapa kamu pulang-pulang kelihatan berantakan gitu? Mukamu juga babak belur. Apa yang terjadi?" tanya eyangnya dengan nada cemas.
Zein memaksakan senyum kecil dan mencoba terlihat tenang. "Ngga apa-apa, eyang. Zein ke kamar ya, eyang? Zein pengen langsung istirahat. Zein kecapekan tadi habis banyak kegiatan di sekolah," jawabnya, berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya.
Eyang tetap tidak puas dengan jawaban tersebut, namun tidak ingin memaksa. Dia mengamati Zein yang berjalan menuju kamar dengan langkah cepat dan raut wajah yang menunjukkan betapa lelah dan emosionalnya dia. Meskipun Zein mengaku baik-baik saja, eyang tetap merasa khawatir dan bingung dengan kondisi cucunya.
Setelah Zein masuk ke kamar dan menutup pintu, dia duduk di tepi tempat tidur, membiarkan kepalanya tertunduk dalam-dalam. Setiap pukulan dan teriakan yang terjadi di gudang terus terngiang di benaknya. Dalam kesunyian kamarnya, Zein merasa tekanan emosional semakin membebani dirinya.
Sementara itu, eyang tetap duduk di kursi roda, berpikir tentang kondisi Zein. Meski cucunya tidak mengatakan apa-apa, hati eyangnya merasa berat dan cemas. Kesehatan dan kebahagiaan Zein selalu menjadi prioritasnya, dan dia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat salah, meskipun Zein berusaha untuk tidak membagikannya.
••••
Malam itu, Zein duduk gelisah di tepi tempat tidur. Dengan cahaya kamar yang redup, bayangan surat di meja sampingnya tampak lebih besar dan menakutkan. Surat tersebut, tertulis dengan rapi dan resmi, adalah pemberitahuan dari sekolah mengenai insiden yang terjadi siang tadi. Zein menatapnya dengan penuh keraguan dan kecemasan.
Dia merasa cemas dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Surat itu jelas-jelas membutuhkan perhatian orang tua, tetapi papanya sudah tidak tinggal bersamanya lagi. Zein kini tinggal bersama eyangnya. Meski secara teknis dia bisa menyerahkan surat itu kepada eyangnya, rasa takut membuatnya tidak bisa melakukannya.
Zein meremas surat itu dengan keras, berusaha mengendalikan emosinya. Dia tahu bahwa menyampaikan surat tersebut kepada eyangnya akan menambah beban pikiran eyangnya, yang sudah cukup banyak memikirkan kesehatannya sendiri. Eyang selalu menjadi sosok yang penuh perhatian, dan Zein tidak ingin menambah pusing pikiran eyangnya dengan masalah sekolahnya.
Malam semakin larut, dan Zein tetap duduk di tempat tidur, menatap surat itu dengan tatapan kosong. Dia merasa terjepit dalam dilema, yakni di satu sisi, dia tahu dia harus mengungkapkan apa yang terjadi untuk mendapatkan dukungan dan bantuan, tapi di sisi lain, dia tidak ingin membuat eyangnya khawatir atau merasa terbebani dengan masalahnya.
Dengan ragu-ragu, Zein akhirnya mengambil keputusan untuk menyimpan surat itu di laci meja dan membiarkannya untuk malam itu. Dia berharap bisa menemukan keberanian untuk menghadapinya esok hari, atau setidaknya bisa menemukan cara lain untuk menyelesaikan masalahnya tanpa harus membuat orang-orang di sekelilingnya merasa lebih tertekan.
Dia merebahkan diri di tempat tidur, mencoba untuk tenang, meskipun pikiran dan perasaannya tetap terjaga, bimbang dan cemas mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...