Keesokan harinya, di ruang rawatnya, Zein duduk dengan tegang di atas brankar. Tatapan cemasnya terpaku pada dinding putih ruang rawatnya. Setiap detik terasa seperti jam, ketakutan akan prosedur pemasangan chest tube memenuhi pikirannya dengan kegelisahan yang tak terbantahkan. Rasanya seperti berada dalam badai emosi yang tak kunjung reda.
Eyang duduk di samping brankar rawat Zein, memperhatikan wajah Zein yang masih terlihat pucat. Hatinya lega karena suhu tubuh Zein kembali normal setelah semalam yang panjang penuh kekhawatiran. Namun, kecemasan masih terpancar jelas dari ekspresi wajah Zein yang tegang.
Eyang lalu menggenggam tangan Zein dengan penuh kehangatan. "Eyang lega karena akhirnya demamnya Zein udah turun. Sekarang Zein tinggal fokus untuk jalani proses selanjutnya. Zein harus inget, Zein ngga sendiri. Eyang akan selalu ada di sini untuk Zein."
Zein menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan ketegangannya. "Zein tau, eyang. Tapi rasanya..."
"Rasanya apa? Zein takut?" potong Eyang dengan bijaksana.
Zein mengangguk pelan. "Iya, eyang. Zein takut.."
Eyang tersenyum lembut. "Ngga pa-pa, Zein. Itu wajar, kok. Tapi eyang tau kalo Zein itu cucu eyang yang kuat. Zein udah melewati banyak hal sejauh ini, dan Zein akan melewati ini juga. Zein jangan takut. Nanti kan eyang nungguin Zein sampe semua prosesnya selesai?"
Eyang kemudian mengelus punggung Zein dengan lembut. "Sekarang Zein istirahat dulu aja sebentar sebelum prosesnya dimulai. Biar pikiran Zein jadi tenang."
"Iya, eyang," ucap Zein lalu kembali untuk membaringkan tubuhnya di atas brankar mencoba untuk menenangkan diri.
Eyang pun masih setia duduk di atas kursi rodanya di samping brankar rawat Zein, mengawasi Zein dengan penuh perhatian. Meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran, ia yakin bahwa Zein akan mampu melewati ujian ini dengan keberanian dan ketabahan yang dimilikinya.
"Jangan khawatir, Zein. Semuanya pasti akan baik-baik aja," ucap eyang dengan suara lembut yang menenangkan.
Meskipun kata-kata eyangnya menyejukkan, namun Zein masih merasakan kecemasan yang tak terkendali.
Setengah jam terasa seperti seabad, Zein gelisah menunggu waktu prosedur dimulai.
"Zein beneran takut, eyang. Gimana kalo rasanya sakit banget?" ucap Zein.
"Jangan berpikiran buruk dulu, Zein. Eyang yakin, Zein pasti bisa lewatin semuanya dengan baik," balas eyang sambil mengelus lembut bahu Zein.
"Zein..," panggil eyang.
Zein lalu menatap eyangnya dengan tatapan matanya yang terlihat sayu.
"Papa pasti khawatir banget sama kamu," ucap eyang dengan suara yang penuh perhatian.
Zein lalu tampak menundukkan kepalanya saat mendengar perkataan yang terucap dari mulut eyang. Ia tiba-tiba merasa takut untuk menatap mata eyang. Ia takut menemukan kebohongan atau harapan palsu di balik kata-kata bijaksana yang baru saja eyangnya itu katakan.
"Papa?" bisik Zein dengan suara serak, mencoba menutupi kebingungannya dengan kedalaman suara yang memenuhi ruangan.
Eyang meraih tangan Zein dengan lembut, memberikan kehangatan yang diinginkannya saat itu. "Iya, Zein. Meskipun mungkin papa selama ini kurang bersikap baik sama kamu atau bahkan keliatan ngga peduli sama kamu, tapi hati papa selalu bersama kamu. Papa mungkin ngga selalu tunjukin kasih sayangnya ke kamu dengan kata-kata, tapi perjuangan dan kerja keras papa akan selalu untuk kamu."
Tetesan air mata mulai mengalir di pipi Zein yang pucat. Ia merasakan beban emosional yang berat menekan dadanya. Bagaimana mungkin ia percaya pada sesuatu yang selama ini terasa begitu jauh dan tidak nyata baginya? Bagaimana mungkin ia percaya bahwa papanya, yang selalu tampak begitu tidak peduli padanya, ternyata diam-diam memperhatikannya? Bahkan ia bisa sampai dirawat di rumah sakit sekarang pun juga karena kekerasan yang dilakukan papanya padanya. Lalu bagaimana mungkin papanya sekarang mengkhawatirkan kondisinya? Apa papanya benar-benar telah menyesali semuanya? Apa mungkin papanya yang dulu baik padanya itu sudah kembali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...