(38) Terpuruk

821 113 17
                                    

Siang itu, Zein pulang ke rumah eyangnya dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat sembab karena habis menangis, dan napasnya tersengal-sengal akibat asmanya yang kambuh. Hatinya yang terluka semakin memperparah kondisinya. Sesekali ia merasakan sakit di dadanya, seolah-olah napasnya tercekik oleh beban emosional yang tak tertahankan.

Begitu turun dari mobil, Zein buru-buru masuk ke dalam rumah eyangnya setelah dibukakan pintu oleh salah seorang pembantu. Pembantu itu tampak khawatir melihat keadaan Zein. "Loh, mas Zein kenapa? Apa asmanya kambuh lagi?!" tanyanya cemas.

Zein hanya menggeleng lemah, tidak sanggup menjawab karena terlalu sesak. Ia langsung duduk di ruang tamu, melepas tas sekolahnya, dan buru-buru membuka kancing seragamnya untuk membuat napasnya lebih leluasa. Tangannya gemetar saat mencari inhaler di dalam tasnya.

Bersamaan dengan itu, eyang keluar dari ruang kerjanya bersama perawat yang biasa merawatnya di rumah. Walaupun eyang sehari-harinya berada di rumah, namun eyangnya itu masih aktif mengontrol perusahaannya melalui kepercayaan yang diberikan kepada staf-staf senior di kantornya. Dengan buru-buru, eyang menghampiri Zein dengan kursi rodanya yang didorong oleh perawat. Wajah eyang terlihat panik dan khawatir melihat cucunya dalam kondisi seperti itu. "Zein, apa yang terjadi? Kamu kenapa?!" tanyanya dengan nada cemas.

Zein masih berusaha mengatur napasnya dan setelah ia akhirnya menemukan inhalernya, ia pun segera menggunakannya dengan cepat. Sensasi dingin dari inhaler menyebar ke paru-parunya, perlahan membantu meredakan sesak napas yang dirasakannya. Napasnya yang tadinya pendek-pendek kini mulai teratur kembali, meskipun dadanya masih terasa berat. Ia menatap inhaler di tangannya dengan tatapan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau balau. Eyang tetap berada di sampingnya, memandang Zein dengan tatapan penuh perhatian. "Zein, kamu harus istirahat di kamar. Ayo, kita naik ke atas," ujar eyang mengajak Zein untuk naik ke kamarnya.

Namun, tiba-tiba Zein mulai menangis lagi, kali ini lebih keras. Dia tidak bisa menahan emosi yang telah menumpuk sejak di rumah papanya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Zein duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kesedihan, memandang eyangnya sambil terisak-isak.

Karena tidak tega melihat cucunya menangis sampai seperti itu, eyang pun segera memeluk Zein erat-erat, mengusap punggungnya dengan lembut. "Zein, apa yang terjadi? Kenapa kamu pulang-pulang malah nangis kayak gini? Apa ada masalah di sekolah? Atau kamu ada masalah tadi waktu di rumah papa? Hm? Cerita sama eyang, Zein. Ada apa?" tanyanya dengan nada penuh kasih sayang.

Zein tidak langsung menjawab, isakannya semakin keras. Hatinya terasa hancur, dan ia merasa sangat kesepian. Perawat dan pembantu yang masih memperhatikan dari kejauhan merasa bingung dan ikut sedih melihat Zein yang begitu terluka.

Setelah beberapa saat, Zein akhirnya bisa mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Dengan suara terisak, dia mulai bercerita, "Eyang... tadi papa ngusir Zein dari rumah. Papa bilang Zein ngga boleh lagi main ke rumah. Papa suruh Zein pergi."

Eyang terkejut mendengar kata-kata Zein. "Apa? Papa kamu mengusir kamu, Zein? Kenapa bisa begitu?"

Eyang benar-benar bingung. Beberapa waktu lalu saat berada di rumah sakit, Zafran justru meminta sebaliknya. Dia memohon agar Zein tetap tinggal bersamanya. Tapi sekarang, kenapa Zafran malah mengusir Zein dari rumah? Hal ini sama sekali tidak masuk akal bagi Eyang, mengingat betapa Zafran sangat ingin Zein tetap tinggal bersamanya saat mereka di rumah sakit.

Zein menggeleng lemah, air mata kembali mengalir di pipinya. "Papa benci sama Zein, Eyang. Papa ngira Zein yang bunuh mama. Padahal kenyataannya ngga kayak gitu, eyang. Zein ngga pernah lakuin itu ke mama.. hiks..," katanya dengan suara bergetar.

"Zein takut kalo nanti papa ngga mau nganggep Zein anak lagi gimana, eyang? Hiks.. Papa keliatannya udah benci banget sama Zein..," lanjutnya.

Eyang menghela napas panjang, memeluk Zein lebih erat. "Zein, papa kamu pasti sedang sangat terluka dan bingung. Kita semua kehilangan mama kamu, dan mungkin papa kamu belum bisa menerima kenyataan itu dengan baik. Tapi eyang yakin, suatu saat kebenaran itu pasti akan terungkap. Papa kamu pasti menyesal karena ngga percaya sama kamu. Dia pasti menyesal, Zein," ujar eyang.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang