(41) Eyang Sudah Tahu

827 109 9
                                    

Malam semakin larut saat Zein duduk di kamarnya, tenggelam dalam buku pelajaran yang terbuka di depannya. Ia memerhatikan setiap baris tulisan dengan penuh perhatian, kebiasaan yang sudah mengakar dalam dirinya. Namun, keheningan malam itu tiba-tiba pecah oleh bunyi dering telepon dari arah kasur, tempat di mana ponselnya tergeletak.

Zein menarik napas panjang sebelum meraih ponselnya. Matanya tertuju pada layar yang menampilkan nama "Papa". Sejenak, ia membeku. Ia menatap layar dengan bingung, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana bisa papanya, yang baru kemarin mengusirnya dengan kasar, tiba-tiba menghubunginya malam ini?

Selama ini, hubungan Zein dengan papanya memang dingin. Setelah pindah tinggal bersama eyangnya, papanya seolah menghilang dari hidupnya, tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Dan ketika Zein akhirnya memutuskan untuk mengunjungi papanya kemarin, pertemuan itu pun juga tidak berjalan mulus. Papanya marah, suasana menjadi tegang, dan Zein pulang dengan hati yang penuh luka.

Kini, dengan papanya menelepon tiba-tiba, rasa kaget dan harapan bercampur dalam dirinya. Mungkinkah papanya menelepon untuk meminta maaf atas kejadian kemarin? Zein merasa marah, tapi rasa lembut hatinya membuatnya sulit untuk benar-benar menunjukkan kemarahan itu. Ia merindukan sosok papanya, meskipun seringkali hubungan mereka penuh ketegangan. Hingga setelah beberapa detik yang penuh keraguan, Zein akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Suara dering yang memekakkan telinga berhenti dan digantikan oleh suara papanya yang dingin.

"Zein?" Suara Zafran, papanya, terdengar datar dan kaku.

Zein menelan ludah, mencoba menenangkan kegugupan di hatinya. "Ya, Pa?"

"Gimana kabar kamu sekarang?" Tanya Zafran dengan nada yang tidak menunjukkan kehangatan. Nada suaranya lebih mirip interogasi daripada pertanyaan peduli.

"Zein baik-baik aja, Pa," jawab Zein dengan hati-hati. "Tadi pagi Zein juga berangkat sekolah kayak biasa."

Tiba-tiba, nada suara papanya berubah, menjadi lebih tajam dan penuh kekesalan. "Kamu kenapa kemarin malam bisa sakit? Eyang bilang, kemarin kamu ngga mau makan dari siang. Kamu kemarin juga pasti ngadu macem-macem sama eyang tentang papa setelah kamu pulang dari rumah papa, kan?"

Zein merasa gelisah, suaranya bergetar sedikit saat menjawab. "Ngga kok, Pa. Zein kemaren ngga mau makan karena emang Zein lagi ngga nafsu makan aja. Itu ngga ada hubungannya sama papa, kok. Zein juga ngga ngadu apa-apa ke eyang soal papa."

"Kalo kamu ngga ngadu macem-macem ke eyang, kenapa eyang kemarin malam telepon papa dan bilang kalo kamu ngga mau makan karena papa?!" ucap Zafran dengan nada penuh amarah. "Ini pasti ada hubungannya sama apa yang kamu ceritain ke eyang tentang papa! Iya, kan?!"

Zein terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. "Ngga, pa. Zein kemaren ngga mau makan bukan karena papa. Zein cuma lagi ngga nafsu makan aja. Zein ngga ngadu apa-apa ke eyang, pa."

"Terus cuma gara-gara ngga nafsu makan aja kamu jadiin alesan kenapa kamu ngga mau makan?!" Zafran memotong dengan nada keras. "Zein, kapan sih kamu mau belajar buat ngga nyusahin orang lain?! Eyang itu marah-marah dan kesal ke papa karena kamu! Kamu tuh bisanya cuma bikin eyang repot tahu ngga?! Kamu ngga sadar itu?!"

Zein merasa hatinya tertekan oleh setiap kata yang keluar dari papanya. Ia mencoba memberi alasan yang lebih jelas, "Tapi pa, Zein ngga bermaksud mau nyusahin siapa pun. Kemaren Zein sakit, jadi Zein ngga bisa makan karena rasanya mual buat makan."

"Apapun alasannya Zein, kamu seharusnya itu tahu diri!" Zafran melanjutkan dengan nada yang semakin tajam di telepon. "Kamu itu sekarang tinggal di rumah eyang, dan seharusnya kamu tahu lah caranya menghargai eyang yang udah mau nampung kamu! Cuma disuruh nurut buat makan aja kamu susah!"

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang