BAB 20

6K 168 2
                                    

"Kenapa kamu jarang berkerja, civa- maksud saya, alatta. Apakah ada alasan yang bisa kamu jelaskan kepada saya?"

Ata mengernyit pada saat bosnya menyebutkan nama civa yang merupakan nama buatan dari kedua kakak laki-laki nya.

"Maaf saya keceplosan, civa itu nama anak saya." Ujar Kalingga, panik.

Ata menghela nafas lega. "Alasannya, karena saya banyak perkerjaan di rumah. Saya sungguh benar-benar minta maaf. Tapi, tolong jangan pecat saya." Ata menunduk sambil memainkan jemarinya.

"Saya tidak akan memecat kamu, kali ini kamu saya maafkan, sebagai ganti ikut saya pergi keluar selesai berkerja,"

"Kemana? Kan saya pulangnya malam?"

"Tidak, khusus anak remaja yang masih sekolah pulangnya harus sore sekitar jam 4."

"Apakah kamu mau?"

Ata mengangguk. "Mau sih, kalo di belikan bakso sama sate,"

"Baiklah nanti akan saya belikan,"

"Hah? Belikan apa bos?" Beonya.

"Kata kamu tadi apa?"

"Kata gue? Emang kedengaran?" Gumamnya.

Kalingga terkekeh. "Sekarang kamu boleh berkerja."

Ata bangkit. "Permisi," setelah itu ia pergi keluar ruang owner. Terlihat ada Anindya yang sedang menunggunya di sana. Ata menghampiri nindiya.

"Gimana? Bos bilang apa ke lo?"

"Ya begitulah, cuman nanya alasan gak kerja,"

"Terus bos mecat lo nggak?" Tanya Anindya penasaran, wajahnya kini sangat dekat dengan muka alatta.

Ata mendorong jidatnya. "Jangan deket-deket, bangke!"

Anindya terkekeh. Ata pergi meninggalkan Nindy di sana dengan ekspresi malas. Nindy pun mengejarnya dari belakang.

Semenjak ata berkerja di sini mereka jadi akrab layaknya seperti besti. Namun, ketika di sekolah mereka bersikap berlagak nggak kenal.

20 menit berlalu.

Ata selesai membuatkan roti. Ia berencana untuk rehat sejenak. Namun, belum sempat bokongnya menempel, tiba-tiba saja Nindy datang sambil berkata,

"Ata tolong jaga kasir dong, gue mau boker. Gara-gara makan basreng perut gue jadi mules, ya? Oke makasih." Setelah mengucapkan itu Nindy pergi, berlari menuju ke kamar mandi.

Ata bangkit dengan malas ia berjalan menuju ke kasir dengan ekspresi sangarnya. Baru saja ingin santai tapi malah di suruh. Benar-benar bukan rezeki anak Soleh.

"Americano satu sama affogato satu, hantarkan di meja saya," ucap pria berompi jas sambil menatap ata.

"Baik, mejanya nomor berapa?" Tanya ata tanpa mendongak.

"42"

"Baik, pembayarannya bisa pakai debit dan cash, anda mau pilih yang man-

Ata terkejut. Setelah mengetahui bahwa dia adalah Izhar, suaminya.

"Lho, lho, lho. Kenapa lo ada di sini?"

Izhar melipatkan kedua tangannya, angkuh. "Seharusnya saya yang bilang, kenapa anda berada di sini, nona? Bukannya seharusnya sepulang sekolah anda harus pulang?"

Ata menggigit bibirnya. Berharap ada mukjizat yang datang, supaya ia bisa pergi dari sini.

"Lat, udah. Gih kerjain rotinya san-

AlatthalitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang