BAB 43

4.3K 144 4
                                    

Setelah mengantarkan ata, Garvin dan perempuan itu langsung pergi begitu saja.

Ata menjepitkan hidungnya. Saat kapas yang di pegang oleh Riyan menyentuh pipinya yang terluka.

Dingin. Tidak perih sama sekali karena Riyan mengobatinya dengan sangat hati-hati. Kalo tidak dia akan di cap dokter psikopat oleh adik sepupunya.

Untung saja Garvin memilih rumah sakit tempat kakak sepupunya berkerja.

Sedangkan Rea, tengah di obati oleh dokter perempuan yang bernama Riska.

"Kok bisa, ya, kalian kena hajar sama anak preman sampai bonyok begini?" Tanya Riska setelah selesai mengobati wajah Rea.

"Ya, namanya anak pecicilan," jawab Riyan sambil mengolesi obat ke muka ata. "Apalagi anak satu ini." Lanjutnya, di lirik tajam oleh ata.

"Dari dulu gak pernah berubah-berubah sikap nakalnya. Padahal gue dan nenek gue udah sempet masukin dia ke pesantren, tapi masih aja gak ada perubahan," curhat Riyan.

Riska yang mendengar curhatan dari Riyan terkekeh.

"Kayak lo enggak aja, mbing!" Cibir ata.

"Tapi gue gak separah Lo nyampe nyiksa anak orang, nyet."

"Mnyenyenye."

Ata meringis, saat Riyan sengaja menyentil lukanya.

Ata meraih bantal, lalu melemparkannya ke arah Riyan. "Kambing!! Mau bunuh gue Lo?!!"

Ceklek

Dengan cepat dia langsung menghindar ke tempat lain, sampai akhirnya bantal tersebut mengenai seorang yang baru saja masuk kedalam ruangnya.

Ata melebarkan matanya. Ia langsung menunduk melirik ke samping setelah mengetahui bantal itu mendarat di wajah suaminya, untung saja tidak mengenai Fathir.

Sedangkan Riyan tertawa bangga karena bantal itu tidak mengenai wajahnya.

"Njir, dari mana dia tau kalo gue ada di sini?!" Batin Ata.

"Suami Lo, Lat." Ujar Rea, tertawa.

Izhar mengambil bantal di lantai dengan rambut yang berantakan. Lalu meletakkannya di atas ranjang bersama dengan Fathir.

Ata menatap Fathir yang sedang menatapnya dalam. Mungkin ia terkejut setelah melihat wajah uminya yang penuh dengan memar. Ia memberikan sebuah senyum lebar kepada Fathir.

Tapi sedetik itu juga, Fathir langsung menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh uminya.

"Ih, fathir kok nangis? Ga malu apa di liatin Bu dokter sama tante Rea?" Ata turun sambil menggendong tubuh Fathir.

"Tante, tante. Gue masih mudah Cok di panggil tante!" Sungut Rea.

Riska terkekeh.

Ata tak membalas, dia memilih keluar untuk berpura-pura menenangkan Fathir yang padahal Riyan belum selesai mengobati mukanya.

Rea juga ikut keluar untuk menyusul ata.

Izhar yang melihat itu menghembuskan nafas berat.

"Cepet juga Lo dateng, zhar." Riyan merangkul pundak Izhar. Jangan lupakan kalo Riyan itu adalah teman sekolahnya waktu mondok di Jawa dulu.

"Ya, setelah kamu mengabarkan ini saya langsung bergegas kesini,"

Riyan mengangguk. Ia melirik sekilas ke arah ranjang ata, menatap kembali ranjang ata yang sudah tidak ada orangnya.

"Kemana bocah itu? Gue belum sempat ngobatin lukanya, anjir." Riyan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar  anak keras kepala."

Riyan memijat pangkal hidungnya. "Pasti berat banget idup Lo ngurusin alatta?"

AlatthalitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang