Prolog II

2.1K 273 52
                                    

Jauh di kedalaman laut, dibawah terumbu karang. Disanalah tempat dia tinggal. Harusnya dia tetap di dalam laut, namun ada hal lain yg membuatnya suka sekali muncul di permukaan. Yaitu kala siang, dia suka melihat langit biru seluas mata memandang, melihat burung-burung terbang dengan indah, kicauannya selaras dengan suara debur ombak. Lalu kala malam dia suka melihat rembulan yg bersinar dengan penuh, dia suka melihat langit malam yg di penuhi dengan bintang-bintang. Selain laut hal yg bisa dia nikmati adalah langit. Angin malam yg selalu berhembus lembut mengenai surainya yg memang selalu basah oleh air laut.

Bertahun-tahun hidupnya seperti itu, Sampai malam itu...

Malam itu laut seolah mengamuk, gemuruh petir kilat menyambar terang di langit malam. Hujan lebat di sertai badai, Air laut berputar-putar tak terkendali. Dia sudah mencoba untuk berenang tapi badai yg terjadi sangatlah dahsyat hingga seseorang yg memang tinggal di dalam laut sepertinya pun tak sanggup melawan arus dan gelombang hebat laut yg sedang mengamuk.

Laut membawanya sampai ke tepian pantai, angin masih berhembus kencang... Langit gelap seluas mata memandang, tetesan air hujan masih turun dari langit gelap itu bersama angin yg berhembus dingin. sebelum kesadarannya benar-benar hilang pendengarannya masih bisa mendengar suara debur ombak, masih dapat dia rasakan pasir lembut itu menyentuh punggungnya. Tanpa sempat memikirkan dimana tempat dia terdampar, manik biru laut itu sudah tertutup dengan sempurna, tak sadarkan diri.


Laut tidak hanya membawanya ketepian pantai, lebih dari itu... Laut juga menghantarkan nya pada garis takdir yg tak berujung, takdir yg melewati batas-batas diantara lautan dan daratan. Takdir yg terikat kuat.


*****

"Segera bakar mahkluk itu!!!!"

"Bunuh dia!!!"

"Bakar mahkluk jahat itu!!!!".

"Karena mahkluk itu Raja dan Ratu kita telah tiada!!!"

"Mahkluk jahat itu sudah membuat banyak pelaut mati dan tak kembali!!!"

"Bunuh dia!!!!"

"Bunuh makhluk jahat itu!!!"

Seruan-seruan marah itu terdengar jelas di telinganya, tangannya sedari tadi mencoba memukul kuat tempat kaca yg mengurungnya. Dimana ini..? Pertanyaan itu membuatnya cemas tak terkira, rasa takut menderanya ketika telinganya dapat mendengar seruan-seruan suara manusia.

Saat dia terjaga yg dia dapati dia sudah terkurung di tempat gelap ini hanya sedikit cahaya yg menembus dari sela-sela kain penutup tempat kaca itu, ruang kaca besar berisi setangah air cukup untuk membasahi setengah tubuhnya, lebih tepatnya bagian ekornya. Tangannya masih mencoba memukul kuat dinding kaca itu namun nihil karena dinding kaca itu sangat kokoh.

"Buka tirainya sekarang!". Perintah itu terdengar begitu mutlak.

Tirai itu terbuka.

Tubuhnya sempurna menegang kala tirai itu terbuka, saat matanya kini melihat dengan jelas dia di kelilingi banyak manusia. Ekornya bergerak-gerak tanda dia sedang gelisah, pikirannya kosong ketika matanya bertemu tatap dengan mata tajam dengan osidian hitam itu yg kini juga sedang menatapnya tanpa berkedip.

"Kalian semua keluar...". Suara berat itu menyapa pendengarannya.

"Tapi pangeran...". Prajurit nampak takut-takut, melihat mata tajam sang pangeran maka semua para prajurit itu keluar dari ruangan eksekusi dan hanya meninggalkan enam pangeran dan si siren itu.

Terdengar suara ketukan teratur langkah kaki di lantai pualan mendekat ke arahnya, jubah panjang sang pangeran terseret di lantai, mahkotanya nampak berkilau terkena cahaya, mahkota itu sangat cocok tersemat di surai hitam legam sang pangeran.

Ntah sejak kapan tiba-tiba sang pangeran sudah berdiri di hadapannya, enam pangeran itu berdiri mengelilinginya yg sedang berada di akuarium. Otaknya masih memproses, Tubuhnya masih menegang kaku bahkan saat sang pangeran melangkah mendekati nya. Membuka atasan aquarium itu.

Manik biru laut itu sontak melebar kala rasakan telapak tangan besar yg terasa hangat itu menyentuh kulit pipinya yg dingin, mengelus pipinya.

"Jadi siapa kamu?". Suara serak itu menyapa pendengaran nya. Tubuhnya replek mundur ciptakan riak air di dalam aquarium.

"Apa kamu bisu?". Pangeran lain kembali bersuara, mendekatkan wajahnya pada sang siren... Sebuah senyum miring tercipta di wajah tampannya.

"Ada apa?, Kamu takut?... Kenapa tidak bernyanyi, lalu ciptakan ilusi... Seperti yg sering kaum mu lakukan, untuk menyesatkan manusia". Ada nada mengejek disana

"Apa yg kalian lakukan pada para pelaut itu, apa kalian memakan mereka?". Pertanyaan itu di lontarkan dengan seringai tipis

Sang pangeran dapat melihat sang siren samar-samar menggeleng, mulutnya masih bungkam, bibir ranumnya masih tertutup rapat, Mereka sempat mengira mahkluk ini tidak mengerti bahasa manusia, keterdiamannya membuat mereka berpikir si siren bisu.

Mereka masih menelisik si siren, ternyata kulitnya lebih lembut dari yg mereka bayangkan, kulit putih itu terasa dingin dan lembut. Mata tajam itu menyelusuri ekor sang siren yg bergerak-gerak, sisik-sisik putih itu juga nampak lembut. Kembali bersitatap dengan manik biru laut itu, ntah kenapa yg mereka lihat adalah kepolosan... Seolah mahkluk ini bahkan tidak tega membunuh ikan apalagi membunuh manusia. Tapi otak mereka memperingatkan untuk jangan tertipu pada penampilan, jangan tertipu apalagi terpesona. Bukankah memang begitu keahlian para siren yaitu memikat manusia.

Ternyata sang siren ribuan kali lebih cantik saat di lihat dari dekat, manik biru laut itu berbinar indah. Sang pangeran berani bersumpah, ternyata bias cahaya yg terpantul dari sisiknya yg putih bersih itu lebih indah dari bias air hujan yg dapat menciptakan bentuk warna-warni pelangi.
He's more beautiful than anything.

"Kamu peliharaan kami mulai sekarang".

Tangan sang pangeran kembali terulur untuk mengelus pipi sang siren, mengelus lembut kulit dingin itu. Melihat wajah cantik itu dari jarak yg sangat dekat, kemudian seringai licik terpatri jelas di wajah tampannya, membuat sang siren hanya bisa menegang kaku tatkala menyadari dia sempurna sudah berada dalam kurungan manusia.
Meskipun harus dia akui bahwa ntah bagaimana caranya osidian hitam gelap itu telak mengunci pandangannya. Osidian hitam gelap itu lebih dalam dari samudera manapun yg pernah dia selami.



Sedangkan jauh di luar sana sayup-sayup terdengar suara debur ombak di tepian pantai. Desau angin seolah sedang berbisik pelan pada pepohonan untuk memberikan kabar bahwa takdir itu benar-benar sudah dimulai. Diam-diam laut juga berdoa, semoga sang siren tidak berakhir menjadi buih di lautan.

L'océan || Kim.SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang