11 : lucid dream

1.1K 124 33
                                    

Mata sunoo menyipit menahan sakit kepala yg kian hebat. Reaksi pertama yg sunoo rasakan adalah di lambung. Rasa mual melonjak secara tiba-tiba hingga sunoo ingin meledak muntah. Sekejap kemudian, mual itu berganti menjadi sakit kepala yg luar biasa hingga kepalanya seperti diletuskan dari dalam. Sunoo berteriak dan membuka mata. Teriakannya lenyap ditelan ruang hampa. Sejauh mata memandang yg tampak hanya hitam dengan taburan kerlip bintang. Sunoo melihat ke kiri, ke kanan, berputar, dan menyadari sesuatu. Tubuhnya tidak lagi ada. Sunoo menyadari proses berpikirnya masih berjalan seperti biasa. Indra-indranyalah yg tidak berfungsi seperti biasa. Sunoo melihat tanpa ada batasan sudut, perspektif atas-bawah. Dia mendengar suara seseorang dalam benaknya, yg seperti disuarakan oleh dirinya sendiri. "Inilah awal dari segalanya. Terbebas tanpa tubuh. Segala batasan fisik dan mental runtuh. Semesta ini menjadi taman bermainmu. Pekerjaanmu, hasratmu, hanya satu: menciptakan dan memanipulasi kehidupan. Kamu bagian dari koloni inteligensi yg mendulang data dan pengalaman dari berbagai penjuru semesta. Antardimensi. Bumi adalah salah satunya."

Seperti melewati leher botol, sunoo merasa dirinya menyempit. Ada cangkang tak terlihat yg kini membatasi keberadaannya. Planet Bumi muncul di hadapan sebagaimana gambar-gambar dari luar angkasa. Bulat. Biru bercorak putih.
"Koloni inteligensimu menciptakan raga-raga perantara. Raga yg desain genetikanya dibuat selaras dengan planet beserta isinya. Raga yg sepenuhnya bisa terurai, yg limbah tubuhnya mampu diserap alam, yg bahan bakarnya bisa didapatkan dari lingkungan sekitar, dan yg paling penting, mampu memperbanyak dirinya sendiri".

Sunoo kembali tersedot ke dalam kungkungan yg lebih sempit dan padat. Berat yg familier. Gravitasi. Sesuatu pun berdenyut. Berdegup. Sesuatu yg dia rasakan menjadi sentral. Tanda vital bahwa dia "hidup". Dalam bungkus kegelapan, Sunoo menyadari kesadarannya kini memiliki perpanjangan. Tungkai-tungkainya yg bisa digerakkan. Tubuh. Perlahan, Sunoo menggerakkan apa yg dirasakannya sebagai jemari. Mempertemukannya dengan bagian tubuh lainnya. Mengenalinya sebagai kulit yg hangat dan licin. Sunoo mulai merasakan alas lembap dan berbutir tempat kakinya berdiri. Tekstur. Kontur. Temperatur. Sensasi lain mulai mencuri atensinya. Sayup suara. Pendengarannya menangkap bunyi menderu dan memecah. Sunoo mengenalinya sebagai suara ombak. Tak lama, sensasi baru hadir menggulung. Aroma. Wangi atsiri tetumbuhan yg memabukkan. Sunoo mendeteksi rerumputan, dedaunan, akar pohon, humus. Dia membaui masam sekresi, uap garam. Aroma hutan. Aroma laut. Sunoo mulai menyadari napasnya. Bagaimana pertukaran udara adalah ikatan yg dia jalin dengan tempat ini. Bumi mengikatnya dengan oksigen, air, cahaya, dan mineral. Bumi berdinamika dengan makhluk-makhluk lain di sekelilingnya dalam ikatan yg unik dan berbeda-beda. Kesadaran sunoo akan tubuhnya perlahan kian mengutuh. Dia mulai merasakan batas fisiknya. Kelopak matanya mulai mengangkat. Sunoo melihat warna-warna, cahaya yg memusingkan. Menyakitkan. Sunoo terus berjuang untuk bisa melihat. Pandangannya yg kabur akhirnya menemukan fokus. Vegetasi hijau. Tanaman-tanaman tropis. Sunoo merasakan tungkai-tungkainya bergerak, sesuatu yg dikenalinya sebagai aktivitas berjalan. Dalam setiap gerakan, kesadarannya seperti dibanjiri data sensoris yg melimpah. Dia tidak sendiri. Sunoo merasa dirinya terhubung dengan unit-unit lain. Sunoo melihat kiri dan kanan. Sekumpulan orang, laki-laki dan perempuan, sedang berjalan beriringan dengannya. Sunoo menengok dirinya sendiri, sama. Mereka bergerak bersama-sama menuju hamparan pasir. Berjalan semakin cepat hingga akhirnya berlari. Sebentang laut biru terlihat di balik vegetasi hijau yg kian menjarang. Lahir dari material Bumi melalui teknologi rekayasa biomolekuler dan dikendalikan dari jarak yg tidak terbayangkan oleh peradaban manusia saat ini, Bumi mulai dihuni oleh raga-raga perantara. Raga-raga itu berbaur dengan seisi planet yg punya kode genetika hampir serupa. Mereka hidup, bermain, berkembang biak, terurai, dan lahir kembali tanpa ada masalah. Mereka adalah makhluk koloni. Tidak ada individualitas. Inteligensi mereka utuh tersambung dengan peradaban yg menciptakan mereka. Tapi, setiap permainan akan ada akhirnya. Pada satu waktu, raga-raga perantara itu ditinggalkan.
Sunoo terjerembap mencium pasir. Hal pertama yg disadarinya adalah menciutnya arus informasi yg tadi membanjir. Perhatian dan kesadarannya kini terpusat kepada dirinya sendiri. Sunoo melihat ke sekeliling, ke orang-orang yg kini sama-sama tergolek di pasir, ke hamparan laut yg digarisi buih ombak. Hal berikut yg mendominasi adalah rasa terisolasi. Ternyata dirinya begitu kecil dan rapuh. Begitu koneksi mereka terputus, raga-raga itu amnesia seketika. Mereka tidak lagi tahu kapan mereka ada di sini, untuk apa, dan kenapa. Berbekal secercah inteligensi yg tersisa untuk bertahan hidup, terpecah dari kohesi kesadaran pengendalinya, mereka mulai beradaptasi. Sunoo perlahan mencoba bangkit. Rasa takut membubung. Rasa lapar dan nyeri sekonyong-konyong menusuk. Debur ombak berubah menjadi menakutkan. Sinar matahari menusuk tajam dan perih di kulit. Segala hal yg mengelilinginya seperti memusuhi. Orang-orang di sekitarnya menjadi asing dan bersaing. Di tengah kerasnya alam Bumi, tanpa induk yg memandu, inteligensi mereka memiliki strategi pertahanan. Senjata terakhir untuk melindungi diri. Mereka menciptakan ilusi. Ilusi mendasar sekaligus terbesar yg menjadikan ras asing ini, para pendatang ini, dalam waktu singkat menjadi makhluk superior di Bumi. Ilusi AKU.

L'océan || Kim.SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang