Agen - 8

90 17 0
                                    

"Gan, kamu punya mimpi, nggak?"

"Punya, Mbak."

"Apa mimpi kamu?"

"Jadi suaminya Mbak Gia."

Agan menggeleng-gelengkan kepalanya saat batinnya menjawab pertanyaan Gia seperti itu. Duh, apa, sih, otak gua kagak danta!

"Apa, Gan?" Gia bertanya ulang, "Mbak penasaran.."

"Mimpi Agan sebenernya pingin jadi abdi negara, Mbak, sejak SMK." jawab Agan dengan jujur, lantang, lugas dan fakta.

Ya, Agan dari dulu memang pernah bermimpi pingin jadi abdi negara. Cita-cita yang tidak pernah digeser oleh cita-cita manapun. Sedari kecil, mimpinya itu sangat konsisten. Dia ingin menjadi seorang abdi negara yang berjasa untuk negara.

Tapi apalah daya, takdir berkata lain. Perintah Abah tampaknya meruntuhkan mimpi Agan yang ingin menjadi abdi negara itu. Memukul mundur Agan supaya bisa mengganti cita-citanya.

Sekarang mimpi menjadi abdi negara diganti menjadi abdi agennya Abah.

"Kenapa sekarang malah jaga agen?"

Agan menatap langit malam yang berbintang. Di sana, dia tersenyum simpul dibuatnya. Tangannya menggosok satu sama lain karena udara malam yang lumayan dingin malam ini.

"Soalnya dulu Abah nggak mau jual sawahnya buat biaya masuk pelatihan abdi negara," jawabnya menyeleneh, tapi fakta.

Ya, orang Abah tidak setuju Agan masuk sana. Bagaimana ceritanya menjual sawah tapi Abah tidak setuju?

Gia menutup mulutnya guna menahan tawa. Jawaban yang keluar dari mulut Agan sebenarnya terdengar menyedihkan, tapi entah kenapa malah lucu di telinga Gia.

"Mbak, kok, ketawa, sih? Saya sedih, loh, ini."

"Enggaaa, maaf-maaf." kata Gia, masih sambil menahan tawanya. "Soalnya aku pikir, kamu nggak masuk abdi negara gara-gara tuntutan lain atau semacamnya gitu,"

"Itu salah satunya, sih, Mbak. Abah pinginnya Agan jaga agen aja. Abah minta Agan kuliah jurusan akuntansi supaya nanti pas lulus Agan bisa kelola keuangan bisnisnya Abah. Padahal mah Agan sama akuntansi kayak tom and jerry, musuh bebuyutan."

"Oh gitu," Gia mengangguk-anggukan kepalanya. Paham dengan cerita Agan yang ternyata tidak jauh beda dengan ceritanya.

Malam semakin larut dan bisa dirasakan oleh Gia kalau udara Jakarta pada malam hari justru mendingin. Dia sedikit kedinginan. Apalagi sekarang lagi pakai kemeja lengan pendek.

Agan yang peka terhadap Gia yang tampak menggigil di sampingnya itu pun lantas melepaskan jaket kulit kebanggaannya dan memakaikannya ke tubuh Gia.

"Dingin, Mbak, kalo malem."

Gia tersentak saat Agan membalut tubuhnya dengan jaketnya, "eh, kamu jadi nggak pake jaket, Gan." katanya, "makasih, ya."

"Dah biasa saya mah."

"Ternyata panasnya siang doang. Kayak di Mojokerto." ujar Gia sambil menatap lurus ke depan, "...jadi kangen Mamahku."

"Jadi Mbak tadinya tinggal di Mojokerto?"

"Iya. Sekitar 10 tahun yang lalu kalo nggak salah."

"10 tahun? Waw. Kok jawanya nggak kebawa, sih?"

Gia tertawa renyah mendengar pertanyaan Agan. "Nggak tau, nggak nyantol aja di aku." jawabnya.

"Nggak bisa bahasa jawa gitu dikit aja?"

"Nggak. Cuma kalo Mamah ngomong bahasa jawa, aku ngerti."

Agan membulatkan mulutnya dan mengangguk-angguk.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang