Agen - 20

83 14 3
                                    

"Loh, aku 'kan emang udah lama banget pingin ketemu Abah kamu, Abang kamu, Tante Tiara juga—keluarga kamu lah pokoknya. Tanpa kamu tanya juga aku ada niat bertamu."

Agan menaikkan satu kakinya ke kursi yang ada di teras rumahnya. Matanya lurus menatap rush hitam Abah tanpa ada kehidupan di dalamnya. Pikirannya berkelana tentang jawaban Gia siang tadi.

Jawaban yang sangat bersemangat bagi Agan yang masih ragu untuk membawa Gia ke rumahnya, ke kehidupannya, yang jauh dari kata tertata.

Ia sungkan. Keraguan itu muncul di saat ia mengingat di mana dan gimana dirinya hidup selama ini.

Agan mungkin sudah memberitahukannya sedikit demi sedikit tentang kehidupan yang dia punya. Tapi dia kerap kali merasa insecure atas dirinya sendiri.

Aganta Daffa lahir di sebuah keluarga yang mana orangtuanya memiliki pandangan yang berbeda serta pengorbanan yang bertolak belakang.

Agan punya rumah untuk ia tinggali tapi Agan tidak punya perabotan yang lengkap untuk membuat rumah itu terang dengan kebahagiaan.

Orang-orangnya memang masih ada semua tapi sifatnya aja yang berbeda.

Contohnya Abah. Beliau keras, egois, seenaknya, mentingin diri sendiri, tidak supportif dan selalu menuntut Agan dan Awi dengan permintaannya yang aneh-aneh dan tentu saja tidak Agan senangi.

Sementara Mama, beliau kebalikannya dari Abah.

Apa yang membuatnya tidak seimbang dan tampak jomplang?

Yap, sifat dan mindset.

Dua yang kontras ada di rumah ini. Kasarnya, tidak kompak.

Memang, sih, setiap manusia memiliki sifat dan pemikiran yang berbeda-beda. Tapi, kenapa perbedaan itu membuat mereka tidak menghargai satu sama lainnya?

Agan mendecak, oh! Ternyata itu jawabannya.

Tidak ada ajaran untuk menghargai sesama di rumah ini. Semua keputusan ada pada yang paling tua.

"Gan," Abah mengisi kursi kosong teras seraya membawakan secangkir kopi utuh.

Agan tidak mengindahkan dan hanya menatap Abah sekilas.

"Sekarang gua tanya, pacar lu siapa?"

Agan terdiam. Malas menjawab karena takut akan respons Abah yang sudah ia hapal luar kepala.

"Oma Wida?"

Agan mendengkus. Oma Wida lagi, Oma Wida lagi. Kenapa, sih?!

"Oma Widaaa mulu, curiga Agan kalo Abah yang suka sama Oma Wida."

Di luar dugaan, Abah terkekeh kecil.

"Ya abisnya lu kagak jawab pertanyaan gua."

Agan memutar bola matanya, "jangan kaget tapi, ya? Jangan ganggu juga, terus jangan nggak direstuin, Agan udah mantep, nih, sama keputusan Agan. Agan udah dewasa, udah tau mana yang bener sama yang enggak. Agan bukan bocah yang harus ikutin apa kata Abah sampe Agan gini-gini aja tanpa pengalaman yang banyak." Sekalian, Agan memperingati Abahnya.

Memberikan warning untuk Abah supaya tidak bilang kata TIDAK.

"Iya elah!"

Agan berdeham sebelum menjawab.

"Namanya Gia, nama panjangnya Gia Osheana, umurnya 4 tahun di atas Agan—"

"Anjir?!"

"Dengerin dulu, yeuh—"

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang