Agen - 38

73 10 2
                                    

Sorenya Gia, Oma dan Narti telah sampai di Mojokerto dengan menaiki taksi dari Bandara Internasional Juanda. Dikarenakan Tirna masih di perjalanan dan tidak memungkinkan untuk menjemput di bandara, jadilah mereka bertiga naik taksi menuju Mojokerto.

Begitu sampai, semburat oranye menyambut Gia, Oma dan Narti sebab waktu petang sudah tiba. Satu jam lagi, adzan maghrib akan berkumandang.

"Masih jauh, Gi?" tanya Oma.

"Sebentar lagi, Oma." jawab Gia seraya melongok ke kaca depan mobil. Dia turut melirik sang supir, "Pak, nanti tolong belok di gang Sekarwangi, ya."

"Nggih, Mbak." jawab sang supir taksi.

Gang desa Sekarwangi sudah nampak. Mobil pun belok ke sana. Gia melirik satu persatu rumah tetangganya. Beberapa tetangga masih singgah duduk di depan rumah dan mengobrol asyik sebelum maghrib tiba.

"Nanti kita jalan sebentar, ya, Oma. Soalnya rumahnya masuk lagi ke gang." kata Gia.

"Iya."

Mobil sudah sampai di depan gang sempit. Mereka pun turun setelah Gia membayar taksi.

"Asri banget ya Mbak di sini." ucap Narti sambil celingak-celinguk memandangi perkarangan rumah warga di sana. Hampir semua rumah ditanami pohon dan tanaman-tanaman hias.

Gia tersenyum kecil dan mengangguk, "di sini kebanyakan Mbah-Mbah semua, Mbak. Jadinya ya kegiatan mereka sehari-hari bercocok tanam." balas Gia.

"Papahmu beli rumahnya gede, kan, Gi?" tanya Oma. "Inget lho dulu dia kepala department bank."

"Minimalis, Oma. Nggak segede rumah Oma cuma nyaman buat ditinggalin." kekeh Gia.

"Hm, baguslah."

"Rumah itu 'kan peninggalan Mbahnya Gia yang dari Mamah, jadi Papah bantu renovasi aja."

Oma membulatkan mulutnya dan mengangguk paham. Tinggal beberapa langkah lagi, rumah Gia mulai terlihat.

@@@

"Aku lho abis beli emas baru di pasar Turi. Nih, Mbak Indara, liat..."

Indara, Mamahnya Gia, melongok gelang emas yang terpajang di pergelangan tangan Nuriyah—tetangganya yang dikenal suka flexing barang-barang yang baru dibelinya.

Wanita berusia 49 tahun tersebut hanya terkekeh kecil sembari merapikan wadah kosong yang habis ia pakai untuk berjualan kue basah. Setiap pagi dan sore, Indara mengisi kekosongannya dengan menjual kue basah.

"Bagus tenan yo, Mbak Nur. Mantep pol!" puji Lestari, kemenakan Indara yang tinggalnya tidak jauh dari rumah Indara.

"Ya iya lho, bojoku yang kasih." Nuriyah masih bertahan dengan flexing-nya. "Udah, ah. Udah sore aku mau pulang." katanya yang setelah itu menjauh dari perkarangan rumah Indara.

Seperginya Nuriyah, Lestari mendecak lidahnya guna melepas rasa jengkel tiap kali Nuriyah datang membeli jajanan. Bukan iri, hanya saja dia muak kalau setiap kumpul bersama ibu-ibu yang lain pun Nuriyah selalu flexing.

"Aku juga bisa beli sendiri, ndak pamer kayak kamu..." dumal Lestari seraya membawa wadah-wadah ke dalam rumah.

Indara hanya mengulas senyum, lalu berkata, "cari suami, Tar, biar ada yang mbeliin!" seru Indara untuk menggoda Lestari.

"Budhe aja! Budhe 'kan janda." sahut Lestari dari dalam.

"Hush, Budhe mending liat Gia nikah daripada liat Budhe sendiri nikah lagi." kata Indara sembari tertawa lepas.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang