Agen - 48

71 13 8
                                    

"Oma, aku berangkat dulu, ya..."

Oma yang sedang meminum kopi hangatnya sontak menoleh ke arah sang cucu yang sudah rapi dengan seragam perawatnya. Sudah dua minggu ini Gia mulai bekerja di rumah sakit swasta yang tidak jauh dari daerah rumahnya Oma.

Gia meraih tangan Oma untuk ia salimi, meminta berkat dari Oma agar pekerjaannya selalu dilancarkan.

"Heh, masih jam segini?" tegur Oma. Menyadari bahwa jam kerja Gia masih dua jam lagi, namun gadis itu sudah buru-buru ingin berangkat kerja.

"Lebih cepet, lebih baik, Oma." jawab Gia dengan lembut.

Oma terkesima akan semangatnya Gia yang selalu membara setiap hendak berangkat kerja. Selama beberapa minggu ini, Oma selalu memerhatikan hal itu. Mengunggah rasa takjub pada sang cucu.

"Nggak salah aku banggain kamu ke temen-temenku!" cetus Oma sambil mencubit pelan pinggang Gia. "Asal kamu tahu ... mereka antri buat jodohin cucu laki-laki mereka sama kamu."

Gia memutar bola matanya. Dia pun tersenyum tipis setelahnya guna menghargai sindiran dari Omanya.

"Gimana? Kamu ini sebenernya punya pacar apa enggak, sih?"

Gia memicingkan matanya, "Oma, nih, ya, kayak alergi deh kalau nggak nanyain itu."

"Gatel aku!"

"Belum ada, Omaaa."

"Agan gimana? Apa perlu Oma yang cecar dia supaya cepet-cepet kasih kejelasan ke kamu?"

Gia tergugu. Hubungannya dengan Agan terbilang biasa-biasa aja sejak mereka bertemu kembali. Tidak ada kepastian yang menunjukan secara signifikan apakah mereka kembali merajut hubungan percintaan yang pernah punah. Mereka saling berkomunikasi, namun tidak ada percakapan di antara mereka yang mengarah ke sana.

Yang jelas, mereka masih mengambang. Status mereka tidak lebih daripada teman.

"Gi, kamu itu udah dewasa, udah waktunya berumah tangga. Mumpung belum tua-tua banget, sebaiknya menikah." Oma memberikan wejangannya. Hatinya gregetan ketika melihat Gia yang terlalu santai tentang 'pernikahan'. "Umur aku udah kepalang tua dan aku bisa meninggal kapan aja. Janjiku ke diri sendiri masih sama, aku mau lihat kamu jadi pengantin yang bahagia. Jadi istri yang diratuin suaminya dan jadi ibu yang baik untuk anak-anak kamu nanti—ya, itupun kalau umurku sampai melihat kamu jadi seorang ibu. Kayaknya, lihat kamu bahagia dipinang orang lain, aku udah bahagia."

Gia terenyuh. Gadis itu juga ingin hal yang sama. Dia bukan salah satu yang menganut atau membayangkan sebuah pernikahan adalah hal yang menakutkan. Baginya, pernikahan juga menjadi salah satu pelengkap ibadah, dan Gia menginginkan ibadahnya lengkap dengan cara menikah. Tak ada satupun perkataan Oma yang membuatnya tersinggung. Dia membayangkan hal yang sama. Menjadi pengantin yang paling bahagia, jadi istri yang diratukan suami dan juga ibu tangguh bagi anak-anaknya kelak.

Bagaimana bisa Gia tidak memimpikan hal itu?

Dia sudah melalui golden age-nya dengan suka cita. Menghabiskan masa muda dengan belajar dan mewujudkan cita-cita menjadi seorang perawat. Menyatukan Oma dan Mamanya serta mengembalikan wujud keluarga harmonis di dalam rumah ini.

Apalagi yang ia ingin raih selain menikah dan hidup bahagia bersama suaminya nanti?

"Cari yang pasti, Gia. Kamu bisa nunggu, tapi aku enggak."

@@@


"Lu kagak mau ikut tes CPNS, Gan?" tanya Abah pada Agan yang tengah sibuk dengan setumpuk invoice.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang