Agen - 39

76 9 8
                                    

Warung Mak Eneng biasa ramai di jam 9 pagi. Warung yang menjual sayur-sayuran itu selalu dipenuhi oleh ibu-ibu yang merangkap sebagai jurnalis gadungan. Pembawa informasi yang akurat dan terpercaya.

Tak terkeculi pagi ini, begitu Tiara datang untuk berbelanja, suara Bu Maih terdengar dari jarak 50 meter dari luar warung. Ibu-ibu yang lain tampak menyimak dengan seksama sembari memilih sayur dan beberapa tanggapan yang membuat informasinya semakin memanas.

"Ih, makanya! Itu azab karena dzalim sama tetangga!"

Hanya kalimat itu yang baru Tiara dengar begitu menginjak warung Mak Eneng.

"Haduh, nggak kebayang, deh, kuburnya kalau amit-amit umurnya kagak lama lagi. Lagian ya mereka satu keluarga bisa kompak gitu kagak suka ke keluarganya Pak Joko." Ibu-ibu yang lain menimpali. Membuat Tiara menaikkan kedua alisnya karena nama Abah terseret dalam 'kasus besar' yang tengah mereka bicarakan.

Ibu-ibu dengan jilbab panjang langsungan menotis keberadaan Tiara, "eh itu ada Bu Joko. Buk sini! Kita punya berita baru..."

Tiara terkekeh dan turut mendekat ke mereka semua. Sebagai seseorang yang tidak terlalu peduli dengan gosip, Tiara melangkah dengan pelan. Namun, karena menghargai panggilan aja jadinya Tiara mendekati mereka.

"Ada apa, Buk?" tanya Tiara ramah.

"Ck, ituuu Buk, Pak Anto..." Ibu dengan cepol rapi dan daster batik berucap antusias. Bahkan beliau menepuk pundak Tiara dengan ekspresi serius.

"Pak Anto kenapa?" Barulah di situ, Tiara menarik dengan topik pembahasan mereka.

"Hihhh, Bu Joko kagak denger mangnya?" Tiara menggeleng setelah ditanya seperti itu oleh Mak Eneng, "Pak Anto kena setruk dari sebulan yang lalu!" lanjut Mak Eneng sambil berbisik.

Tiara bergeming.

"Iya, Buk. Ih, kok Bu Joko nggak tau padahal tetangga depan rumah."

Tiara tersenyum getir, "saya semenjak Abang Awi sama Parid kena kasus, jarang lagi denger soal keluarga Pak Anto, Buk. Harap maklum, nggak mau usik juga." ucap Tiara pelan.

Semenjak Awi dan Parid kegep maling di rumah Abah, baik Abah dan yang lainnya tidak pernah lagi berurusan dengan keluarga depan rumah. Bahkan jarang melihat penghuninya karena pintu rumah mereka selalu rapat seperti tidak berpenghuni.

"...kayaknya kena karma deh itu Pak Anto, Bu. Lagian dia mah jadi orang begitu. Sombongnya terbirit-birit. Dah 'kan dibales sama anaknya sendiri. Katanya polisi eh tau-taunya maling."

"Qadarullah, Bu. Udah jalannya mungkin beliau diberi ujian ini." jawab Tiara sambil tersenyum tipis, "kita do'ain aja semoga beliau diberikan kesembuhan."

"Tapi dia mah udah tua juga, wajar kena penyakit." timpal ibu-ibu yang lain. "Oh iya, si Awi masih ditahan itu, Bu?"

Tiara mengangguk kecil, "masih, Bu."

"Duh, nggak nyangka sama Awi sebenernya. Padahal dulu anaknya pinter ngaji, lho."

Tiara makin tersenyum getir. Kalau mereka tahu cerita yang sebenarnya mungkin lebih terkejut daripada berita Pak Anto sakit-sakitan. Hanya saja, seburuk-buruknya manusia dan rahasia keluarganya, Tiara tetap harus melindunginya. Awi mungkin salah karena hampir melakukan pembunuhan serta mengambil harta benda milik orang lain. Namun lebih dari itu, Awi punya alasannya sendiri kenapa bisa melakukan hal itu.

Awi hanya sedang gelap mata waktu itu. Dia terpedaya oleh delusi tentang mimpi yang tidak bisa ia raih. Caranya memang salah. Tiara tidak membenarkannya. Akan tetapi Tiara tahu bahwa anaknya itu tidak akan sejauh ini kalau bukan karena proyeksi buruk dari Abahnya sendiri.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang