Agen - 50

57 10 10
                                    

Rooftop masih disinggahi oleh Gia dan Agan. Matahari sudah tidak tampak lagi. Digantikan oleh cahaya bulan sabit.

Mereka mengobrol banyak hal. Kembali mengenang kebersamaan yang lama tak mereka lakukan berdua. Agan sudah lebih baik dan tenang. Baik jiwanya atau perasaannya. Berkat pelukan Gia, agaknya dia juga tidak akan pernah berpikir untuk menyerah lagi di kemudian hari.

"Kadang Agan suka kepikiran, gua ternyata lemah banget ya jadi laki-laki. Kalo ada masalah, bukannya langsung diselesein, tapi ditangisin dulu. Jadi malu sama perempuan." ucap pria itu. Lalu menyambung kalimat sebelumnya, "malu sama Mbak Gia.."

"Ngapain malu? Kamu bukan robot yang nggak bisa nangis kok."

"Soalnya orang-orang bilang, laki-laki harus tangguh, gak boleh nangis, harus jadi jagoan."

Gia menyeringai sambil menatap pria di sampingnya ini berbicara.

"...tapi wajar 'kan laki-laki nangis?"

"Sekarang aku tanya, kamu emangnya suka nangis di depan orang-orang?"

"Gak sih. Paling banter di depan Mbak Gia doang." Agan menggaruk tengkuknya dengan dengkusan malu yang kentara.

"Kalo kamu nanya laki-laki wajar apa enggak buat nangis, ya bagi aku, wajar aja lah. Semua manusia berhak nangis kalo dia lagi capek." ujar Gia dengan lembut, "kata Mamah, Papah aku dulu juga nangis pas aku lahir. Papah pernah nangis pas aku sakit demam berdarah. Papah aku pernah nangis pas nahan sakit kankernya. So, wajar 'kan laki-laki nangis?"

Agan mengatupkan bibirnya.

Gia melengoskan pandangannya lurus ke depan. Ditatap bulan sabit dengan matanya yang berbinar karena cahaya lampu jalan.

"Kita ini manusia, Agan. Yang kalau dikasih ujian berat, capek dan sedihnya minta ampun. Teriak kesakitan sampai nangis-nangis. Emangnya apa sih yang kita ekspetasikan pas hidup di dunia ini?"

Agan masih diam mendengarkan dengan seksama. 

"Baik kebahagiaan ataupun kegagalan porsinya sama. Datangnya aja yang berbeda. Aku bisa ngomong begini karena aku pun pernah berada di fase terpuruk karena masalah keluarga—kamu tau sendiri 'kan. Tapi aku yakin, suatu saat pasti aku bisa temuin kebahagiaan itu, dan sekarang udah terbukti. Bahagia itu nyata adanya. Aku juga yakin, kebahagiaan mutlak akan datang ke kamu walau kamu sendiri harus lewatin masa-masa sulit itu." jelas Gia lagi, "aku nggak bermaksud untuk mengadu nasib aku sendiri. Aku harap kamu selalu kuat di setiap waktunya."

Agan mengangguki ungkapannya Gia. Perlahan, hatinya makin tenang. Rasa gelisah yang sempat mampir lama-lama pudar.

"Jangan sedih lagi ya, aku harap dengan kamu cerita begini, kamu bisa lebih tenang."

Agan meraih tangan Gia dan menggenggamnya dengan erat, "makasih ya, Mbak. Makasih udah mau dengerin Agan. Maafin sikap Agan yang kadang belom bisa dibilang dewasa pas nyikapin suatu masalah. Jangan bilang-bilang orang ya, Mbak."

Gia tergelak, "ya enggak lah! Ngapain aku ngomong-ngomong ke orang lain soal masalah pribadi kamu? Bukan aku banget lah ya gibahin orang." elak Gia secara cepat.

"Oh, bukan itu maksudnya, Mbak."

"Hah, terus yang mana?"

Agan menggaruk kepalanya canggung sambil tersenyum tipis, "tadi, yang Agan nangis hehehehe." Pria itu menyengir malu.

Gia makin tertawa ngakak.

"Bilangin ah .... cepuin ke Saka enak kali ya." goda Gia.

"Mbak, jangan Mbak."

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang