Gia menengok kalender yang berdiri di atas meja kerjanya. 2 bulan sudah berlalu sejak kedatangannya ke Jakarta. Tak terasa pula selama 2 bulan itu, Gia mulai bisa menerima kehidupannya di sini. Walaupun setiap hari ada aja ocehan dari Oma.
Kalau kupingnya bisa dicopot, demi apapun akan Gia copot agar tidak mendengar Oma mengoceh.
"Iya, Bunda. Boleh, boleh checkout Bunda karena stock-nya tinggal sedikit, Bunda. Warna merah ada di etalase nomer 5, warna merah ada di etalase nomer 5. Segera di-checkout Bunda karena stok kita sedikit. Yang warna merah langka, Bunda..."
Gia tersenyum tipis melihat para karyawannya bersemangat melakukan live dan jualan di sana.
Selama 2 bulan ini juga penjualan semakin meningkat. Banyak orang yang berkunjung karena tahu dari sosial media yang Gia buat. Tak lupa juga Gia membuat katalog eletronik yang bisa diakses orang-orang melalui ponsel atau jejaring.
Dalam mengumpulkan orang-orang supaya mampir ke laman profile batik Oma adalah dengan mengandalkan relasi yang Gia punya. Untung saja Gia punya banyak teman dan menyuruh mereka untuk melihat-lihat lewat sosial media.
"Guys, udah hampir jam 10. Bentar lagi selesein aja, ya. Terus tutup aja tokonya." titah Gia.
"Siap, Mbak." balas mereka.
"Mbak, ini laporan stok opname hari ini." Nina memberikan sebuah kertas berisi laporan stok opname untuk Gia.
"Oke, Na. Makasih, ya." ucap Gia. "Keren, nih, kalian—kita untung banyak selama 2 bulan ini. Nggak kayak kemarin-kemarin."
"Yang keren Mbak Gia tauuuk, semenjak Mbak di sini, toko rame terus. Orderan juga bisa di-achieve sampe ratusan resi." Selma mengacungkan jempolnya ke arah Gia. Hal ini juga disetujui oleh pegawai yang lain.
"Enggak, enggak. Ini berkat kerja keras kalian, makasih banget, loh, udah bantu aku sama Oma kejar target begini." Gia tersenyum lebar kepada para pegawainya. "Aku harap, cabang yang lainnya juga bisa pakai cara ini."
"Oh iya, Mbak, Oma belom tau kalo kita pake cara ini 'kan?"
"Pakai cara apa maksud kalian?"
Deg.
Oma datang ke toko tanpa bilang-bilang. Semua pegawai sontak ketar-ketir karena pekerjaan mereka belum selesai. Selma buru-buru mematikan live dan merapikan ringlight yang dijadikan sebagai penyangga ponsel.
Gia menelan ludan dan berjalan menuju Omanya, "Oma? Tumben dateng nggak kabarin Gia dulu?" Perempuan itu tersenyum getir.
"Buat apa? Ini 'kan toko aku." jawab Oma dengan ketus.
"Ya, iya juga. Ini toko Oma."
"Cepat tutup tokonya. Kamu pulang sama aku!" tunjuk Oma tepat di depan muka Gia.
Gia melirik para pegawai yang tampak ketar-ketir. Perempuan itu lantas merapikan barang-barangnya dan mengambil tasnya. Lalu, mengekori Oma yang sudah jalan duluan.
"Kalian jangan khawatir, ya. Aku pulang duluan."
"Iya, Mbak. Kabarin kita kalo Mbak diapa-apa-in, ya. Hati-hati, Mbak."
Gia mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan toko.
Sesampainya di rumah, Oma lantas melempar tas mahalnya ke sembarang arah. Lalu, duduk di sofa seraya menyalakan rokok kreteknya. Gia hanya berdiri di dekat Oma. Untuk saat ini, ia bahkan tidak berani untuk sekedar nyelonong ke kamar.
Memang tradisi sepertinya. Sebelum tidur harus mendengar Oma mengoceh dulu.
"Nartiii, ambilin saya teh sama teh kotak di kulkas!" pekik Oma pada Narti yang ada di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agen Agan
Hayran KurguDia bukan seorang raja ataupun seorang pangeran. Dia hanyalah seorang Agan. Pemuda penjaga sebuah agen yang pernah bermimpi menunggangi seekor kuda putih dan bertemu seorang gadis cantik yang disinyalir seorang putri. Namun ketika terbangun, yang...