Gia menghela napas panjang. Lalu, mengusap wajahnya yang amburadul karena menangis. Zoom meeting sudah usai beberapa menit yang lalu. Gia tahu, walaupun link-nya sebenarnya masih bisa digunakan, dia memilih enggan.
Enggan kembali dan mendengar penuturan Agan yang sepertinya tadi akan mencegah putusnya hubungan mereka.
Cukup. Bagi Gia, mereka sudah cukup. Berhenti adalah salah satu kepastian yang terbaik.
Setidaknya bagi Agan.
Seperti apa yang dibenaknya, Gia tidak mau Agan terus-terusan mengemis maaf dan berkomitmen pada Oma soal masalah kehidupan pribadinya Agan. Oma bilang, segala ucapan Oma adalah mutlak. Diberi satu kali kesempatan lagi dan berujung pupus, Oma mutlak tidak akan membuka kesempatan yang lainnya lagi.
Gia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Agan tidak boleh bertekuk lutut untuk yang kesekian kalinya—demi dia, hanya dia, dan untuk dia. Gia Osheana.
Semoga di pemberhentian kali ini bisa menjamin kebahagiaan Agan.
Gia harap, rasa cinta yang memupuk di benak dan hatinya untuk Agan bisa memudar seiring berjalannya waktu. Begitu pula dengan Agan. Semoga dia bisa menemukan yang lebih baik dari dirinya lagi—di waktu yang tepat dengan keadaan sekitar yang mendukungnya bahagia di kemudian hari.
Itu saja.
Diambilnya kotak tisu dan melepaskan selembar dari kotaknya, Gia menghapus jejak air mata yang menempel di muka.
Kakinya melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka. Lalu, melipir ke kamar Oma.
Dilihat neneknya tengah bermain ponsel sambil duduk di atas kasur.
"Oma?" Kepala Gia menyembul di daun pintu.
"Hm."
"Oma belum tidur?"
"Belum. Aku lagi main tiktok."
Gia tersenyum getir, "boleh tidur sini?"
"Iya, sini aja." sila Oma.
Gia pun masuk ke dalam dan menutup pintu kamar Oma. Wanita muda itu langsung mengambil posisi rebahan di samping Oma. Begitu cucunya rebahan di sampingnya, Oma ikut rebahan.
Gia memeluk Omanya.
"Oma."
"Kenapa?" tanya Oma dengan lembut. Tangannya mengusap punggung Gia yang gemetar.
"Oma kangen Papah, nggak?"
"Kangen." jawab Oma, "aku kangen semua anak-anakku tanpa terkecuali."
"Maaf, ya, Oma."
"Buat?"
"Maaf aja. Maaf karena waktu Papah meninggal, Oma nggak bisa di samping Papah karena jadi beda kota." ujar Gia dengan suara gemetar. Tiba-tiba, dia rindu Papahnya yang kini sudah beristirahat dengan tenang di atas sana.
"Nggak apa-apa," kata Oma dengan terbata-bata. Ikut larut dalam kesedihan Gia. "Papah kamu terusir karena kerasku dulu. Aku yang salah di sini, sampe aku nyesel. Nggak seharusnya dulu aku kayak begitu." lanjut Oma. Air matanya turut mengembang di pelupuk mata.
"Oma, Gia mau nanya boleh, nggak?"
Kepala Gia dielus lembut oleh Omanya, kemudian Oma menjawab, "boleh."
"Andaikan Papah masih ada sampe sekarang, apa kita bisa jadi dekat kayak gini?"
Oma tak mengindahkannya. Beliau terdiam dengan pertanyaan Gia. Jelas, beliau tidak tahu jawabannya. Tidak berandai-andai secara berlebihan selain berimajinasi apabila anak pertamanya masih ada di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agen Agan
FanfictionDia bukan seorang raja ataupun seorang pangeran. Dia hanyalah seorang Agan. Pemuda penjaga sebuah agen yang pernah bermimpi menunggangi seekor kuda putih dan bertemu seorang gadis cantik yang disinyalir seorang putri. Namun ketika terbangun, yang...