Agen - 26

67 10 10
                                    

"Nda, agen gua aman-aman aja 'kan?"

"Aman, Bah."

Abah menganggukkan kepala setelah Dinda menjawab pertanyaannya. Sorenya, Abah mampir ke agen dan seperti biasa melakukan sidak. Tidak tahu kenapa, tapi kalau Agan tidak ada di agen pasti Abah datang. Seperti ada naluri yang terhubung.

Maklum, mereka 'kan bapak sama anak walaupun tidak seakur Saka dan Pak Singgih.

Dinda melirik Abah sekilas. Pria tua yang sedang fokus pada ponselnya itu sekarang menjadi pendiam dan tidak segalak biasanya. Entahlah, Dinda perhatikan, sejak kejadian yang menimpa keluarga Abah dan Agan, Abah lebih banyak bungkamnya. Putra sulungnya kini ditetapkan menjadi seorang narapidana, tetangga mulai berisik soal keluarga Abah dan hubungan Abah dengan tetangganya yang ada di depan rumah belum membaik jua.

Pokoknya, kasihan deh ngeliatnya.

"Abah mau saya pesenin mie ayam?" tawar Dinda, peka sekali untuk ukuran karyawan yang baik dan bijaksana.

"Kagak, gua udah makan tadi di kecamatan." tolak Abah.

"Kecamatan ngapain aja, Bah?" tanya Roni iseng.

"Gua mau nyalonin diri jadi camat taun ini."

WAW. Cukup mencengangkan beritanya. Ketiga karyawannya saling bertukar pandangan. Saling berbicara melalui tatapan mata mereka.

"Mang iya, Bah?" tanya Ilyas untuk mempertegas.

"Ngapain gua boong." jawab Abah, "gua beneran mau nyalonin diri."

Dinda menarik simpati terhadap Abah. Yang tadinya kasian, sekarang tidak jadi kasian. Ternyata yang perlu dikasihani ya dirinya sendiri.

"Kok tiba-tiba banget, Bah, mau jadi camat?" tanya Roni.

"Gua capek dihina-hina orang mulu, ya udah gua jadi camat aja, dah." jawab Abah diselingi tawa hambar.

Alasannya mungkin terdengar krusial bagi orang lain; tak terkecuali 3 karyawan yang mendengarnya saat ini. Di luar nalar mereka, alasan Abah itu betulan tidak jelas.

"Si Agan tau kagak Bah, Abah mau jadi camat?"

"Kagak. Ngapain ngomong, dia pasti kagak demen gua ngurusin kecamatan."

"Bukannya jadi camat malah tambah capek, Bah." timpal Roni. "Mending begini, jadi bos agen, bapak kos, bikin kebon pisang. Kan tanahnya Abah banyak tuh."

Abah menghela napas pelan, "gua udah ngelakuin itu semua, Ron. Kagak cukup juga buat orang-orang diem."

"Kagak ada abisnya Bah kalo hidup sesuai omongan orang lain." celetuk Roni.

Pokoknya kalau soal ngobrol sama Abah, cuma Roni yang berani. Sedang Dinda dan Ilyas hanya menyimak sambil melakukan pekerjaan mereka.

"Kagak masalah sih Bah kalo Abah mau abisin masa tua Abah dengan mengabdi dan bantu orang lain, bagus banget malah. Tapi Bah, ada banyak hal di dunia ini yang bisa Abah lakuin buat buktiin kalo Abah tuh bukan kayak apa yang diomongin orang lain." Roni menjeda ucapannya, "kalo kita dihina, positif aja dia iri sama kehidupan Abah yang bergelimang harta ini."

Saat itu, Abah tidak protes. Beliau mendengar dengan seksama apa yang Roni katakan.

"Kalo dihina, hina balik aja, Bah. Seberapa oke sih orang yang hina-hina Abah?"

Abah terkekeh dan menepuk-nepuk pundak Roni.

"Setuju, Bah. Sapa sih orang yang hina-hina Abah? Sini maju kalo berani." sahut Ilyas.

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang