Kelulusan

9 4 0
                                    

Sambil menenteng kotak biolanya, Ray berjalan ke ruang musik.

Pekan ujian baru saja lewat, dan ia, sejak dulu, selalu punya hak istimewa untuk menggunakan ruang musik. Atas iming-iming itulah, Ray akhirnya mau bersekolah di sini.

Beberapa minggu lalu, Pak Hanu memberitahunya kalau ada anak lain yang juga memakai ruang musik. Mulanya, Ray uring-uringan. Buat apa hak istimewa kalau ada orang lain yang dapat juga?

"Agnes dan Dina. Mereka juga butuh latihan, Ray."

Ray mengangguk malas, meski satu nama itu menyentil rasa penasarannya. "Aku tahu, Agnes sering tampil. Tapi, Dina?"

Pak Hanu tampak sedikit gugup. "Itu atas permintaan Agnes. Karena Bapak tahu Dina juga berbakat, sejak tampil denganmu kemarin, Bapak sekalian bilang ke Agnes kalau mereka harus latihan satu lagu buat mengiringi kamu nanti."

"Dua orang?"

Pak Hanu menggeleng. "Satu aja, Ray. Bapak pilih dari mereka, yang paling bagus mainnya. Ngapain dua?"

"Enggak tahu. Makanya saya nanya."

Pak Hanu menghela napas, mungkin agak menyerah dengan nada jutek Ray.

Namun, Dina kabur sebelum audisi, dan ia tidak kembali ke ruang musik sampai berhari-hari setelahnya. Barulah ketika sudah dipastikan Agnes yang terpilih, Dina kembali ke ruang musik.

Seperti siang ini.

Ray agak tergelitik melihat sosok gadis berkerudung itu duduk menjeplak di balkon, menjulurkan kepalanya ke sela-sela pagar. Posisi yang aneh. Ray berdeham, sengaja betul menunjukkan eksistensi dirinya. Dugaannya benar, Dina langsung panik dan buru-buru menarik kepalanya, tetapi ... kepalanya tersangkut.

"Butuh bantuan?" tanya Ray, lebih seperti ke ledekan daripada tawaran sungguhan.

"Diam!" Dina, dengan wajah merah padam, akhirnya berhasil membebaskan kepalanya. Lagi-lagi, ia sudah hampir kabur, tetapi Ray lebih gesit. Ia bergerak mengadang anak itu.

Sudah dikatakan, ego Ray tinggi. Ia sangat gengsi untuk mengakui sesuatu yang mulanya ia remehkan. Namun, Dina yang kabur sebelum audisi membuat Ray menemukan cara untuk mengatakan apa yang sejak lama membuatnya penasaran. "Kenapa kamu enggak mau tampil?"

"Enggak mau, kalau sama kamu."

Telak sekali membuat harga diri Ray terluka. Sepertinya, itu memang spesialisasi anak ini. Namun, Ray bergeming. Masih ada yang ingin ia tanyakan. "Enggak. Kamu memang enggak mau tampil. Emang kamu pernah tampil?"

Dina menunduk di hadapan Ray. "Musik bukan bidangku," jawabnya sangat pelan. "Meski aku pernah latihan, meski aku punya bakat, aku harus menghindarinya."

"Harus. Sejak kapan ada keharusan menjauhi yang bukan bidangnya?" Kali ini, Ray sungguhan penasaran.

"Kamu tahu aku akan lanjut ke mana?" Dina kini mengangkat wajahnya. "Aku akan ke pesantren, yang tidak ada musiknya. Ayahku bilang salah cara mendidikku, jadi aku akan dikirim ke tempat yang sama sekali berbeda dengan sekarang." Ia mendengkus. "Orang tua macam apa itu."

Ray terdiam. Dina bicara panjang lebar, ini di luar ekspektasi. Apalagi tidak dengan nada judes kepadanya. Ray berpikir, bagaimana caranya pamit dari hadapan Dina. Ia ke sini untuk latihan, katanya Agnes sudah di dalam ruang musik. Setelah diam agak lama, Ray membatin, aku enggak nanya lo.

"Kalau kamu? Bakal lanjut ke mana habis ini?"

Pertanyaan itu membuat Ray bersitatap dengan gadis di hadapannya. Yang ia ingat, belum ada seorang pun yang menanyakan hal itu di sekolah. Yang ada, teman-temannya asyik sesumbar. Ray mah bakal langsung tampil, enggak perlu sekolah. Atau sekolah seni musik di luar negeri. Apa jangan-jangan Ray udah enggak sekolah lagi?

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang