Sepertinya, Ray terlena dalam tidurnya.
Arin sudah cemas sampai berpikiran macam-macam. Bagaimana jika Ray terjebak di dunia mimpi? Atau terbujuk rayu dengan sesuatu dari bawah sadarnya, sehingga enggan kembali ke kenyataan?
"Rin, sumpah ... aku enggak menyangka, kamu ini penggemar fantasi horor, ya," komentar Eugeo setelah Arin menyatakan kekhawatirannya.
"Kamu enggak cemas? Sudah dua minggu Ray enggak bangun!"
Pekan yang panjang.
Kegiatan repetitif.
Dokter pun sampai bertanya-tanya. Ia kembali menyarankan pada Arin dan siapa pun keluarga Ray untuk memberinya stimulus dari luar. Mungkin, dengan begitu, Ray bisa mendengar pesan yang disampaikan hingga akhirnya tersadar.
"Rin, kamu enggak tahu Snow White atau Sleeping Beauty, apa?"
Arin mendelik. Ia tahu, dan ia tidak ingin membicarakan itu.
"Sudahkah kamu menciumnya dii ... emmmm—" Ucapan Eugeo tertahan dengan Arin yang mencubit pipi Eugeo keras-keras. "Lepas! Sakit!"
"Orgil mana yang mau lepas ventilator orang yang kesulitan bernapas, cuma buat ngasih ciuman?!"
"Baguslah, kamu masih waras."
Ucapan Eugeo memang sedikit menghibur Arin. Tetap saja, ia suntuk setengah mati. Ia sampai tidak merasa sedih lagi. Diingatnya siapa-siapa saja yang berkunjung akhir pekan lalu. Mededader, kali ini, dengan dua pasang suami istri: Darto-Sarah dan Danang-Dissa. Yang membuat Arin syok, dalam artian bagus, adalah Agnes yang muncul malu-malu. Satu-satunya sahabat Arin sejak SMP itu tampil memakai kerudung.
Lalu, keluarga Nugi datang lagi, kali ini bersama Hasan juga. Sungguh, jika mereka yang menjenguk tiap hari, sepertinya Arin tidak akan bosan. Lizzy dan Jordan sibuk merepet padanya, apalagi ditambah Eugeo. Sepertinya, lelaki yang senang bermain dengan anak kecil itu bukan hanya Ray. Arin tersenyum melihat bagaimana akrabnya Eugeo dengan Lizzy dan Jordan.
Selain dua anak itu, Arin baru menyadari sesuatu: Hasan benar-benar bicara layaknya ustaz. Iskandar, Hasan, Mona, mereka kakak-adik, tetapi Arin tak menemukan pola apa pun dari nama mereka. Ah, mengapa pula ia pikirkan?
"Arin, sabarnya seorang istri pasti akan dibayar pahala yang berlimpah," ujar Hasan memulai tausiahnya. "Tapi ... itu bukan hal yang membuatmu tenang, mungkin?"
Arin tak tahu harus menjawab apa.
"Terus bersabar, isi waktu dengan ibadah, dan instrospeksi diri. Apa mungkin ada penyakit di dalam hati? Kita enggak pernah tahu, Rin. Bisa jadi, ada hal busuk dalam diri kita yang membuat doa tak kunjung diijabah. Yang menghalangi kebaikan untuk datang. Jangan lupa juga, Allah mengikuti prasangka hamba-Nya. Allah juga yang meminta kita untuk terus berdoa pada-Nya, untuk terus memohon pertolongan dari-Nya."
Arin merasa ... agak tertusuk.
"Mungkin, doamu masih kurang? Mungkin, hatimu kurang lapang? Percayalah, Nak. Takdir Allah itu yang terbaik."
Terbaik ... terbaik.
Arin masih tak menemukan makna "terbaik" dari kehidupannya. Ia menunduk begitu lama. Namun, ucapan Hasan tak urung membuatnya ingin berusaha. "Paklik, ada saran untukku?"
"Kamu bisa ngaji?"
Kali ini, Arin sungguhan tersentil. "Ya."
"Kamu bisa setel murottal, atau mengaji di sebelahnya." Hasan menatap Ray. "Al-Qur'an itu stimulus terbaik, apalagi jika dibacakan di samping orang yang belum sadar. Indra pendengaran itu enggak bisa ditutup, Nak. Kalau sesuatu dibacakan, maka terdengar. Bayi belum lahir saja bisa mendengar bunyi-bunyian dari dunia luar. Jika biasa diperdengarkan murottal, ia akan terlahir dalam keadan dekat dengan Al-Qur'an. Ray mungkin mendengar percakapan kita sekarang, meski dia enggak bisa memahaminya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024