Eugeo

14 2 3
                                        

Anak bayi itu terlahir berbeda dari ayah-ibunya, seolah ia bukan anak kandung. Rambut pirang dan mata biru, juga kulit putih kemerahan. Terlalu banyak tatapan iri yang didapat, dua orang tua itu merasa tidak baik-baik saja.

Benar saja.

Meski tidak bisa dikatakan kecelakaan itu sengaja, tetapi, dua orang itu sekarat. Bahkan sang istri dengan cepat meregang nyawa.

Seperti sudah ada yang merencanakan.

Nuris ada di sana. Berposisi paling depan dengan ranjang sang kawan yang tiba-tiba meminta kertas dan pensil.

Wasiat tentang hak asuh Eugeo, yang saat itu belum genap setahun umurnya.

Mulai hari ini, Dien punya adik. Anda orang tua Eugeo yang saya percayakan.

Surat wasiat yang menuai pertikaian, meski sudah dibuktikan dengan foto. Pasalnya, hak asuh mestinya akan jatuh ke saudara dari orang tua Eugeo. Namun, sang ayah menyadari kemungkinan hal buruk yang terjadi pada anak uniknya, dan beliau menyerahkan hak asuh Eugeo ke Nuris.

Dengan itulah, hari-hari Eugeo sebagai keluarga Noor Ismail dimulai. Sejak Santika menyusuinya dan meletakkannya bersebelahan dengan Dina.

Ia lengket dengan Dina. Mereka ke mana-mana berdua. Tingkah laku mereka saling melengkapi. Ketika Dina latihan musik bersama sang ayah, Eugeo mengikut. Namun, ia tak bisa konsisten ataupun sabar berlatih. Akibatnya, Eugeo hampir tidak bisa memainkan apa-apa.

Mereka masuk SD yang sama, dan lagi-lagi tak terpisahkan. Bahkan meski mereka bergabung dengan sirkel gender masing-masing, pada akhirnya, mereka hanya bisa saling melengkapi berdua.

Benar-benar seperti kepingan puzzle.

Dina agak judes meski mudah tertawa. Eugeo amat periang dan hobi bercanda. Mungkin, pernah sekali dua kali mereka bertengkar, tetapi tak pernah makan waktu lama. Mereka seperti ditakdirkan untuk saling melengkapi sebagai saudara, saling berbagi sel otak yang sama.

Hingga hari itu.

Dimulai dengan Nuris, Santika, dan Indra yang pamit, tanpa mengatakan tujuan. Kedatangan seorang anak laki-laki jutek pemain biola yang membuat mood Eugeo jatuh bebas, lantas ia memilih menyusul Dina ke sekolah. Dan setelahnya ... seperti yang sudah diceritakan.

Eugeo tidak seterguncang Dina. Ia masih mengingat baik kembarannya itu, dan sibuk memikirkan jalan pulang, meski ia sudah berada di antah berantah. Ia sudah diwanti-wanti bahwa inilah rumah aslinya; bahwa Eugeo tidak akan bisa lepas dari sana. Tetap saja, Eugeo kepikiran Dina. Mungkin, bawaan dirinya yang selalu positif membuatnya masih sanggup mengingat kejadian hari itu.

Tidak tahu sejak kapan dan apa penyebab Eugeo melupakan soal Dina. Yang jelas, rutinitas di rumah itu membuatnya mati rasa, dan di umur belasan, Eugeo dipaksa ikut casting sebuah film. Sebuah kesimpulan muncul di benak Eugeo.

Aku terlahir dengan tampang yang berbeda. Karena itulah mereka memperebutkanku. Supaya bisa menjual tampangku!

Terlalu mudah bagi seorang bertampang bule untuk lolos casting. Ketika tinggal tahap terakhir, Eugeo kabur, meski tidak lama karena ia segera ditemukan.

"Kenapa tiba-tiba kamu membelot, hah?!"

Membelot. Memang selama ini Eugeo pura-pura menurut, sambil menahan kedongkolan di hatinya. Ini bukan jalan hidupnya. Ini bukan apa yang ia inginkan.

Namun, Eugeo ... sudah melupakan Dina.

Hidup mudah hanya bermodalkan tampang, mungkin itu merupakan impian beberapa orang. Namun, tidak dengan Eugeo. Ia benci. Benci dengan wajahnya sendiri. Benci karena orang-orang seolah hanya peduli dirinya karena ia terlihat bule. Nyatanya, di rumah, Eugeo sudah dianggap tak berharga lagi.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang