Potongan Memori

4 1 2
                                    

Arin akhirnya ingat siang menjelang sore itu.

Hari Sabtu, jadwal ekstrakurikuler pencak silat. Eugeo sudah menungguinya sambil menyedot es teh dalam plastik yang langsung Arin—atau Dina palak.

"Ngapain di luar?" tanya Dina.

"Ngambek."

"Sama?"

"Sama orang ngambekan."

Dina sungguh tak paham apa yang Eugeo bicarakan, sampai tiba-tiba Eugeo meledak. "Ada anak laki cari Daddy. Kubilang, lagi pergi. Dia langsung melengos, dong! Huh, gitu, terus balik badan, pergi! Mau kutahan, dia melotot! Dih, ngambek."

Dina masih tak paham, sebenarnya, tetapi ia tahu Eugeo sedang kesal. "Ayo jalan-jalan," ujarnya.

Dua anak itu, seperti biasa, menaiki bus dan berkeliling semaunya mereka. Mampir satu-dua toko: kafe kecil atau toko buku dan menghabiskan uang di sana. Perempuan berkerudung dengan pakaian silat, berjalan dengan lelaki berambut pirang dan mata biru, cukup mencolok perhatian.

"Kamu kok panas-panasan gini tetep putih, sih?" gumam Dina. "Cowok tapi lebih putih. Huh."

"Kenapa, iri?"

"Enggak papa. Agak sedihnya soalnya enggak pernah dikira saudara."

Mereka diam setelahnya.

"Anak laki tadi pagi lebih hitam dari kamu."

Dina mendenguskan tawa. "Siapa, sih?"

"Enggak tahu! Muridnya Daddy sih, bawa-bawa kotak biola. Hmmm, aku belum latihan lagi!"

"Kamu yang bukain pintu?" langkah Dina terhenti. " 'Kan, sudah dilarang!"

"Enggak papalah. Bocah ini."

Arin menghela napas. "Baiklah. Siap-siap kita bakal dimarahin begitu sampai rumah."

Mereka tetap bergandengan, bahkan sampai rumah, ketika kata-kata Dina jadi nyata. Vanes, yang saat itu baru setahun bekerja, langsung mengomel panjang-pendek. Dina jadi mengkeret. Kalau ada Indra, pasti kemungkinannya dua: lebih halus, atau mereka dihukum.

"Sana, naik ke atas. Jangan turun! Kalian bandel!" Vanes mengusir keduanya seperti mengusir ayam. "Ortu kalian lagi pergi demi kalian, tahu!"

"Demi kalian? Kita kenapa?" tanya Dina.

"Enggak tahu. Bukan urusanku." Vanes memang agak judes, dulu.

Mereka sempat diam di kamar Dina beberapa lama, meski dengan cepat bosan. Dina bergulingan di kasur. "Geo, kamu saudaraku, 'kan?"

"Ya?"

"Kamu enggak bakal pergi dariku, 'kan?" Dina nyengir, lalu mengulurkan tangan. "Janji, kita bakal bareng terus."

"Ah, enggak ah. Aku mau kabur."

"Geo!"

Eugeo meraih tangan Dina, tampak ogah-ogahan, tetapi Dina bisa melihat kalau Eugeo sebenarnya senang hati.

"Bukankah status persaudaraan kita terlalu sering diperdebatkan?" tanya Dina.

"Ya," gumam Eugeo. "Sampai ke pengadilan."

Keduanya masih ingat kejadian beberapa tahun lalu. Soal hak asuh Eugeo. Salah satu saudara ayahnya, entah yang mana Eugeo tak kenal, menggugat hak asuh yang sebelumnya jatuh ke keluarga Nuris. Persidangan itu memenangkan Nuris dengan bukti surat wasiat dari orang tua kandung Eugeo.

Lagipula, apa yang dikejar dari sosok Eugeo?

Siang itu mungkin masih sama seperti siang-siang sebelumnya. Dina dan Eugeo mengendap-endap ke dapur, hendak mencari sisa pastry atau melobi Chef supaya memberi mereka kudapan, tak peduli mereka sudah makan siang di luar. Chef tidak tampak, tetapi terlihat beberapa potong kue. Dua anak itu mengambilnya tanpa ragu.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang