Ibu dan Anak Perempuannya

6 2 0
                                    

Sebenarnya, Arin tidak sesehat itu.

Ia menyelinap keluar kamar sebelum Vanes mendapatinya. Dengan pakaiannya yang biasa—serbahitam, memakai bandana di atas kerudung, dan menyandang tas berisi gitar, Arin menaiki bus terpagi yang ia temukan.

Pening. Harusnya, Arin bedrest sepekan. Dasar bandel. Meski begitu, ia tersenyum. Rasanya senang karena akhirnya ia bisa pergi seorang diri dengan izin orang tuanya. Bukannya dulu Arin tidak mau, ia hanya malas keluar rumah.

Pagi itu lengang. Bus sepi. Arin menikmati pemandangan dari balik jendela. Rumah-rumah berpagar khas perkotaan perlahan berganti dengan warung sederhana, rumpun liar, dan hutan. Arin masih merenung ketika dilihatnya gapura batas kota. Ia langsung bersiap turun.

"Di sini, Non? Sepi lo, mau ke mana?" sapa sang sopir.

"Ada rumah, 'kan?" Arin malah jadi sangsi.

Sang sopir malah tertawa. "Ada, kok. Itu, ada yang nunggu di halte."

Arin mengangguk. Rasa tegang membuat intuisinya menumpul. Ia turun tanpa melihat kanan-kiri, langsung mengikuti instruksi Nuris untuk melalui jalan setapak menuju hutan.

Hah!

Arin terkesiap. Ia mendengar suara seseorang, entah dari mana. Atau jangan-jangan ....

Arin berbalik dan berlari ke arah jalan raya. Bus tadi sudah menghilang. Sambil memegangi kepala, Arin berusaha menenangkan dirinya.

Ah, sakit kepalanya kumat. Namun, ia sudah di sini. Sudah tercebur, sekalian saja basah kuyup. Maka, Arin melangkah lagi, sedikit waswas karena jalan yang ia lalui benar-benar masuk ke dalam hutan.

"Waaah ...."

Cemasnya hilang, seketika berganti dengan antusias. Pandangan Arin pertama tertumbuk pada rerumputan dan semak yang terpangkas rapi, pergola yang rimbun, pot-pot tanaman berbunga di pekarangan sebuah rumah kecil. Rumah yang tampak semarak dalam kesendirian. Beberapa meter dari rumah itu, tampak sebuah bangunan kayu. Arin menduga-duga bangunan apa itu gerangan.

Suasana masih remang-remang ketika Arin melintasi taman kecil itu, apalagi lampu teras rumah sudah dipadamkan. Sambil menarik napas panjang, ia mengetuk pintu rumah yang tertutup sambil mengucap salam.

Arin ini memang, kalau sudah bertekad, apa pun ia libas. Termasuk rasa segannya untuk bertamu ke rumah orang pagi-pagi buta. Sebenarnya, Arin mulai ragu dan menimbang-nimbang. Kalau setelah ia beri salam tiga kali dalam rentang tertentu ternyata tak ada yang menjawab, ia akan balik badan, pulang. Ya, begitu lebih baik. Pasti begitu.

"Waalaikumussalam. Siapa ya?"

Sebenarnya, Arin agak kaget. Tanggapan yang didapat jauh lebih cepat daripada yang dikira. Pintu terbuka, Arin tak sempat kabur.

"...."

".... Hah?" Sosok wanita paruh baya itu membenarkan kacamata yang dikenakannya. "Ini sungguhan ada tamu?"

Barulah Arin disergap kegugupan luar biasa. Makhluk macam apa ia ini, perempuan yang bertamu ke rumah teman laki-lakinya ketika matahari bahkan belum terbit sempurna?

"Permisi, Bu." Arin berdeham, berusaha menghilangkan gagap. "Ray ... ada?"

"Ray?" Sosok itu tambah syok. "Lah, dia baru jalan ke depan, kira-kira sepuluh menit lalu ... atau dua puluh ...." Ia memicing. "Sepertinya, memang enggak papasan, ya."

Arin tersentak. Ucapan sopir tadi terngiang. Itu, ada yang nunggu di halte. Arin seketika lemas. Ia menutupi wajahnya dan tersungkur begitu saja, tak peduli tas gitar yang ia cangklong menimpanya.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang