Arin memang dimarahi Vanes.
Meski begitu, ia merasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Sambil mengantarnya pulang, di dalam bus, Siti berkata silakan kembali lagi ke rumah itu—Rumah Hutan, namanya.
"Dengan syarat, kamu harus udah sembuh! Kalau belum, saya usir langsung!"
Arin mengiakan. Siti juga yang bicara langsung pada Vanes dan Indra untuk menjaga Arin, karena Nuris tak tampak. Mungkin sang ayah sedang bekerja di gedung sebelah.
Kali ini, Arin benar-benar menurut. Ia bahkan nyaris tidak keluar kamarnya selama sepekan, meski sudah merasa sehat. Ia berdiam di sana, memainkan semua alat musik yang dipunya—trombon, gitar, rekorder, juga harmonika. Instrumen terakhir itu merupakan hadiah dari sang bunda, bertahun-tahun lalu.
Sambil duduk di ambang jendela kamar yang besar, Arin mengamati kesibukan di luar. Para tukang kebun membereskan taman, jalan depan rumahnya lengang. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas. Selain rumahnya masuk ke jalanan komplek yang agak sepi, memang tidak banyak kendaraan pribadi di kota itu.
Kalau di rumah, apalagi di kamarnya, Arin memang tidak memakai kerudung. Ia biarkan rambutnya yang panjang sepunggung terurai jatuh ketika menunduk. Di genggamannya, terdapat bandana rajut dengan hiasan berbentuk bunga berwarna merah. Itu adalah hadiah dari neneknya, yang juga sudah almarhum.
"Aku takut," gumam Arin. "Kenapa riwayat semua perempuan di keluarga ini penyakitan? Aku juga sedikit-sedikit tumbang." Ia menghela napas. "Apa umurku ... enggak panjang?"
Arin menggeleng. Hei, bisa-bisanya ia membiarkan pikiran buruk menghantui, padahal itu faktor utamanya menjadi lemah. Yah, memang begini jika ia hanya tinggal di rumah. Terlalu banyak hal-hal negatif yang terpikir. Karena itu, ia jauh lebih suka di luar.
Setelah sepekan banyak merenung, Arin meminta izin pada Nuris, Vanes, dan Indra untuk kembali bertandang ke Rumah Hutan. Vanes memastikan Arin sudah benar-benar sehat sebelum memperbolehkan. Awalnya, ia ingin ikut, tetapi yang namanya Arin sudah tentu langsung kabur.
"Anak itu," gumam Vanes sambil berkacak pinggang. "Ya sudahlah, aku percaya. Dia pernah menjuarai pertandingan silat, mestinya tahu gimana bertindak kalau ada apa-apa."
"Maksudmu, buat hal kayak hari itu?" sahut Indra.
Raut wajah Vanes berubah. "Jangan bawa-bawa hari itu lagi, Mas. Itu sudah kesepakatan semua."
****
Arin menyusuri jalan setapak sambil melonjak-lonjak kecil. Enaknya jadi sehat! Langkahnya terhenti ketika didengarnya suara sapu lidi bergesekan dengan tanah. Ia kini mengendap-endap. Begitu pemandangan di balik pepohonan tersingkap, ia langsung melihat sosok laki-laki yang ia kenali sebagai Iskandar, sedang menyapu halaman sambil bergumam-gumam. Mungkin, merasa diperhatikan, Iskandar menghentikan kegiatannya dan mengangkat wajah.
Lagi-lagi, Arin terlambat kabur. Pandangan mereka telanjur berserobok. Arin merasa ingin lenyap saja sekarang, saking malunya.
".... Eh?" Iskandar memicing. "Arin, ya?" Ia membuat gelagat menunjuk kepala.
Arin paham, yang dimaksud adalah bandananya; benda yang selalu ia kenakan tiap keluar rumah sejak tak lagi bersekolah. Ia mengangguk, lalu melangkah mendekat dengan agak ragu. "Assalamualaikum, Pak. Maaf ujug-ujug muncul."
"Waalaikumussalam. Lo, gapapa. Istriku sudah cerita soal kamu."
Wajah Arin tambah merah. Apa aja yang diceritakan?!
"Sudah sehat?" Wajah Iskandar tampak berseri. "Mau ketemu istriku? Atau mau main aja, ke belakang?" Ia melirik gitar yang dicangklong Arin.
Arin bahkan tak tahu tujuan sebenarnya apa. "Bu Siti di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024