Bara dalam Sekam

7 2 0
                                    

Waktu bagai terhenti.

Ketika Arin membeku tanpa tahu harus melakukan apa; hanya bisa menatap nanar, bahkan ia tidak sadar sudah meneteskan air mata. Suaranya menghilang di ujung jeritan, tercekat; Arin kini hanya membuka mulut tanpa berucap apa-apa. Ia bahkan tak sadar ketika orang-orang mendekat; para polisi dan pihak berwenang, yang juga sibuk menghalau massa. Arin, hanya bisa menyentuh bahu Ray yang masih memeluknya. Amat pelan, demi melihat banyaknya darah yang mengalir di sana.

"Saya SAUDARANYA!"

Seruan penuh amarah itu yang berhasil menyadarkan Arin. Berikutnya, ia sudah direngkuh seseorang. "Arin, Arin! Sadarlah! Kamu enggak apa-apa? Enggak luka?"

"Enggak ...." Arin menggelosor. "Tolong. Tolong ... Ray ...."

"Tutup matamu, Rin. Jangan dilihat. Dia masih hidup. Dia pasti selamat." Eugeo menyentuh mata Arin, menutupnya paksa. "Jangan buka mata dulu, oke? Di sini, sama aku. Petugas medis di sini. Ray sudah ditandu. Ia masih dinyatakan hidup. Tenanglah." Meski begitu, kentara sekali suara Eugeo bergetar.

"A-aku ...." Sekujur tubuh Arin gemetar hebat. "Apa itu ... barusan?"

"Permisi, apa dia terluka?"

Arin masih menutup mata. Ia hanya bisa mendengar suara Eugeo mengobrol serius dengan seseorang. Ia hanya bisa merasakan dirinya ditandu. Satu lagi, ia bisa mendengar Eugeo berseru penuh amarah, pada media yang tiba-tiba menyemut.

Arin benci media.

Ia ingat bagaimana satpam kewalahan mengusir beberapa awak media yang hendak meliput kematian bundanya. Berhasil. Ia ingat lagi soal kasus penculikannya. Ada satu-dua orang tanpa tahu diri hendak mewawancarainya. Mereka semua diusir oleh satpam dan para pelayan.

"Geo, Geo." Tangan Arin menggapai-gapai. "Jangan pergi. Jangan biarin aku sendiri."

"Aku di sini, Rin. Aku ikut. Ayah sudah dikabari. Tenanglah."

"Aku sudah janji, Geo. Aku sudah janji!" Arin tiba-tiba histeris. "Aku sudah janji, enggak akan membiarkan Ray mati!"

Kali ini, Eugeo membisu.

"Darah ... darah! Darah di mana-mana, Geo! Aku takut. Kepalanya!" Air mata Arin bercucuran. "Ada di mana kamu? Kenapa kamu enggak muncul?"

"Maaf, aku—"

"Apa kamu membohongiku? Apa sebenarnya kamu ... kamu yang ingin melihatku hancur?!"

"Arin!" Eugeo terdengar amat syok. "Sumpah demi Allah, bukan aku! Aku enggak tahu apa-apa!"

"Kalau begitu, kenapa?!" Arin tiba-tiba terduduk di atas tandu ambulans. Matanya membuka, nyalang. "Kenapa kamu muncul ketika masalah sedang datang bertubi-tubi? Kenapa tadi kamu enggak muncul dan menyelamatkanku? Kenapa ... kenapa kamu ...."

"Aku enggak berada di dekatmu. Kamu yang minta buat jaga jarak! Aku lagi lari selama ledakan terjadi!"

"Sejauh apa jarak itu, Geo? Apa butuh waktu sekian lama buat ke tempatku?!"

"Aku—" Eugeo kehabisan kata-kata. Ia menunduk. "Maafkan aku, Arin."

"Bahkan, Ray yang dari rumah saja, bisa mencapaiku!" Arin kian meradang.

"Arin, maaf ... itu karena aku ... pengecut."

Seisi ambulans itu hening.

"Ledakan pertama, aku melihatmu bengong, aku cuma berteriak karena terlalu jauh. Aku sudah lari ke tempatmu, tapi ... ledakan kedua, dan orang-orang berlari sambil berseru, kamu malah diam ... dan aku keburu takut ada ledakan susulan. Ledakan ketiga, Ray muncul tiba-tiba. Ledakan keempat, aku mau menyusul kalian, tapi ... kalian, terpental ke arah yang salah ...."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang