Hampa

9 2 0
                                        

Pagi itu, Ray mengecek cuciannya: bandana rajut milik Arin yang terbawa di saku jaketnya. Ia lupa mengembalikannya di malam yang panjang itu saking banyaknya yang terjadi. Hari ini, ia mengikut Iskandar berkunjung ke rumah Nuris. Sambil membawa biola, mana tahu ia akan tampil malam itu.

Nuris menerima kedua tamu itu di ruang kerjanya, bukan di ruang tamu. "Sabtu-Sabtu tetap kerja. Apa itu libur," ujarnya sambil tertawa. "Ya, Ray? Begitulah seniman." Ia menunjuk tumpukan amplop dan berkas lain yang entah apa. "Biasanya, yang merapikan ini Arin. Tapi, dia lagi enggak bisa diganggu gugat sekarang."

"Apa kabar Arin?" tanya Ray. Itu bukan pertanyaan pertamanya. Ia sudah sedikit berbasa-basi di awal.

"Masih sakit, tapi demamnya sudah turun. Infeksi." Nuris menghela napas panjang. "Ada banyak yang ingin saya ceritakan, tapi ... saya terlalu bingung. Maaf, Pak, Ray, saya malah jadi curhat ke tamu."

"Lha, fungsi saya selama ini apa?" sahut Iskandar.

Nuris tersenyum, meski ekspresinya sayu. Ia akhirnya berdiri dan ikut duduk di sofa ruang kerjanya. Memang ruangan itu luas, sampai ada satu set sofa sendiri. "Ini tentang Arin."

Ray tiba-tiba merasa hatinya membeku. Entah mengapa, tiap nama Arin terucap dari para orang tua, yang ada di pikiran Ray adalah kabar buruk.

"Oh, apa kamu tahu, Ray? Kalian lahir di hari yang sama, tempat yang sama, hanya beda jam ... dan orang tua."

Ray mengangguk, sedikit paham bahwa Nuris bermaksud melucu.

"Tapi, keluargamu boleh pulang lebih dulu. Kami belum. Anak kami, Dien Ariannisa, alias Dina atau Arin, kondisinya masih terlalu lemah. Padahal, dia lahir baik-baik saja. Saya bahkan sempat menggendongnya." Pandangan Nuris meredup. "Sejak itu, saya tahu, Arin akan tumbuh rentan."

"Rentan?" ulang Ray.

Nuris mengangguk. "Rentan penyakit. Dia begitu mudah tumbang, tiba-tiba sakit, demam tinggi. Kamu tahu berapa kali dia absen sakit selama SMP, Ray?"

Ray tersenyum kecut. Boro-boro, keberadaan Arin saja hampir tidak ia anggap.

"Minimal satu semester satu kali, pernah sampai lima kali." Nuris menghela napas. "Kali ini, saya paranoid. Saya sudah ditinggal istri ketika saya lalai. Saya enggak mau lalai lagi. Saya sungguhan takut Arin kenapa-kenapa, meski pernah medical check up dan Arin dinyatakan sehat." Nuris memegangi dadanya. "Mungkin, saya akan kembali strict ...."

"Mister," sela Ray, "itu salah satu keluhan Arin yang paling sering. Dia enggak suka dilarang."

"Saya tahu. Dia juga terang-terangan bilang enggak suka dijaga diam-diam, tapi gimana? Mungkin, karena itulah, dia jadi agak rebel ... dan hobi kabur tiba-tiba." Nuris menunduk. "Ray?"

"Y-ya?"

"Apa kamu menyukai anakku?"

Bagai terkena petir di siang bolong, Ray seketika kaku. Ia tahu, dua pria paruh baya di ruangan itu menatapnya.

"Saya enggak pacaran," malah itu jawaban Ray.

"Enggak ada yang suruh, Ray," sahut Iskandar. Sempat-sempatnya pula ia menoyor bahu Ray.

"Jawab saja. Karena saya sudah tahu kalau dari Arin. Perilakunya, apalagi sejak malam itu, amat jelas."

"Hah?" Ray meneguk ludah. Kali ini, rasa panas menjalari wajahnya.

"Saya benar-benar berharap, kepercayaan saya padamu sampai ini tidak salah, Rayhan." Nuris menatap Ray serius. "Arin sering izin ke rumahmu. Lalu malamnya tampil bersama grupmu, dan pulang diantar olehmu. Kamu enggak aneh-aneh, 'kan?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang