Peringatan

12 2 0
                                    

Tak banyak percakapan antara dua lelaki sepanjang jalan. Namun, di halte, ketika Ray mengira mereka akan saling diam, tiba-tiba Eugeo bicara.

"Berapa gajimu?"

Lha?

"Apa gelarmu?"

"Tunggu, tunggu!" Ray sampai menggeser duduknya, menjauhi Eugeo. "Apa ini yang kaumaksud bicara berdua saja?"

"Ada lebih banyak dari ini." Eugeo menatap Ray sambil bersedekap. "Apa menurutmu, pertanyaanku itu wajar?"

"Wajar, kok ...."

"Terus, kenapa enggak dijawab?!"

"Aku seorang seniman," sahut Ray. "Aku cuma sekolah sampai SMP."

Eugeo tak menjawab.

"Dan aku enggak punya gaji tetap. Tergantung pesanan ... aku ini pengrajin biola, oke?" Ray mematut-matut tas biolanya. "Apa lagi?"

"Kalau begitu, kenapa ... kamu nekat melamar saudariku?! Apa yang kamu janjikan untuknya?"

Ray menghela napas. "Kalau aku bilang itu hasil kesepakatan orang tua, kamu marah enggak?"

"Marah! Soalnya bukan dari dirimu sendiri!"

"Dengar aku, Geo." Ray berdiri. Lama-lama ia kesal juga. "Aku sangat paham kegelisahanmu, tiba-tiba ada laki-laki miskin yang mau melamar saudaramu. Terus, gimana nasib saudaramu itu nantinya? Itu yang jadi kesepakatan. Aku memberinya perasaan, dan sebagian harta. Ayah kalian belum ingin melepas Arin seutuhnya, tapi beliau juga ingin ia terikat padaku secepatnya. Ini bukan cuma didasari rasa cinta. Ini demi keamanan!"

"Jadi satpam aja." Eugeo merengut.

"Yah, andai dengan jadi satpam itu aku jadi berhak menyentuh—"

"Kamu bilang APA?!"

Ray terkesiap. Eugeo sudah berdiri di hadapannya, mencengkeram bajunya.

"Apa yang sudah kamu lakukan?!"

"Enggak ada hal aneh. Sumpah. Aku cuma menyelamatkannya." Ray berdeham gugup. Kali ini, ia tahu, kekhawatiran Eugeo bukan main-main. Apakah itu rasanya punya saudara?

Ah, beda kasus kalau itu keluarga Iskandar.

"Kamu enggak ikhlas, ya?"

Eugeo menggeleng.

"Yah ... kalau begitu, kita memang harus kenalan lebih jauh." Ray melepas cengkeraman Eugeo. "Kalau ada waktu, coba sesekali kita bertemu. Ini sudah malam. Lain kali, akan kujelaskan semuanya padamu, apa pun yang mau kamu dengar."

"Berapa umurmu?"

Ray menatap Eugeo. Mata biru yang sedikit lebih rendah darinya itu juga sedang memandangnya, penuh selidik. "Dua puluh." Beberapa hari lagi.

"Kalian seumuran!" Eugeo tampak terguncang. "Kupikir, paling enggak, dia bakal dengan laki-laki yang sudah siap dari segala aspek ... bukan bocah seniman tanpa pemasukan pasti!"

Ray melengos. Ia tak bisa membicarakan kesepakatan antara Iskandar dan Nuris seenaknya, bukan? "Terserahlah. Aku juga masih belajar." Ia kembali melirik Eugeo. "Memang, umurmu berapa?"

"Tahun ini 19."

Ray mengerjap. "Hei, beda umur kita enggak sampai setahun."

"Kenapa? Aku ini kembaran Dinarin. Umur kami enggak pernah beda jauh." Mata Eugeo masih menatap nyalang. "Itu busnya. Apa kamu naik?"

"Ya. Makasih sudah ditemenin." Ray beranjak. Tak ia duga, Eugeo ikut. "Ngapain?"

"Enggak papa. Aku sudah bilang bakal lama, 'kan?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang