Itu bukan mimpi Arin belaka.
Ray memang menjenguknya, malam itu, karena diminta Nuris. Alasannya, Arin mengigaukan namanya. Sedikit berharap Arin akan sembuh, tetapi sampai keesokan harinya, Arin tetap tak muncul di alun-alun. Mungkin masih sakit. Sangat wajar, mengingat kondisinya semalam. Ray berkali-kali menghela napas. Ia sebenarnya cemas. Sejak ia kenal Arin saat SMP dulu, Arin sudah sangat sering absen kelas karena sakit—seingatnya, karena sebenarnya Ray tidak terlalu peduli. Apa mungkin itu bawaan lahir?
Lah, kenapa aku cemas?
"Ray, kamu kenapa enggak konsen?" tegur Darto. "Bukan soal mainnya. Tapi, kamu berkali-kali bengong, sambil menghela napas."
"Banyak pikiran," jawab Ray singkat. "Yang penting, aku tetep main, 'kan?"
Ray ini, kalau memang memikirkan satu hal, disenggol sedikit jadi galak.
Darto mengiakan saja akhirnya. Lalu, ia mengabari bahwa lusa tidak ada penampilan dulu sampai beberapa waktu, karena ia ada urusan. Grup itu tanpa Darto? Bubar.
"Yah, Ray belum ketemu Arin," gumam Agnes. "Semoga besok dia udah sembuh."
Siapa yang bilang belum? Batin Ray. Namun, ia tak mau menyanggah. Mungkin, untuk menghilangkan kegundahan hatinya, ia akan mampir danau dulu malam ini.
Danau, berlatar gunung, berpagar hutan, tampak begitu magis dan misterius, apalagi di malam hari. Ketika bulan tiga perempat tergantung rendah di langit kelam, dengan taburan bintang dan sedikit awan.
Ray hanya berdiri diam di ujung jalan setapak, memandangi danau beberapa lama. Hatinya perlahan diisi kedamaian. Ia menarik napas panjang-panjang sebelum berbalik ke rumahnya.
****
Dan itulah yang terjadi.
Sama sekali tak terpikir oleh Ray bahwa keesokan harinya, ia akan mendapati Arin sedang memasak di rumahnya. Wajar ia sampai syok berat.
Kemudian, di sini mereka berada. Sama-sama duduk di batu tepi danau, tempat yang sudah seperti singgasana bagi Ray. Ia mestinya akan mengkal setengah mati jika ada yang tahu spot favoritnya itu, tetapi kali ini, ia tak bisa marah.
"Apa menurutmu, kita bisa jadi teman?"
Pertanyaan itu membuat Ray yang sedang memandangi danau dengan kaku, alias sengaja tidak melihat ke sebelahnya, menoleh. "Teman?"
Ray berani sumpah, ia melihat wajah Arin memerah. Ia menghela napas, kembali memandang kejauhan. "Kocak. Kita 'kan satu sekolah. Kayak gitu bukan teman?"
"Eh? Oh, yaya. Satu kelas itu juga teman," gumam Arin.
"Kamu sudah beneran sembuh?" Ray lagi-lagi mengalihkan topik.
"Sudah! Kalau enggak, aku bakal diamuk Mbak Vanes habis ini." Arin menarik napas panjang. "Eh, kamu tahu Mbak Vanes, enggak?"
"Iya, tahu. Dia memperkenalkan diri sebagai pelayan pribadimu."
"Hah!" Arin tampak kaget sekarang. "Kapan kalian kenalan?"
Kali ini, Ray benar-benar merasa sungkan. "Dua tahu lalu ...."
Tak ada sahutan.
"Pas aku melayat ke rumahmu ...."
Dugaan Ray benar. Arin langsung menutupi wajah, tampak amat malu. "Maaf!" serunya berkali-kali. "Iya, aku tahu, aku pingsan tiba-tiba. Aduh!"
Ray tersenyum kecil. Melihat gadis di sebelahnya salah tingkah, ia malah jadi ingin tambah iseng. "Kamu ingat? Pas di alun-alun—"
"Cukup!" Arin sampai melonjak dan menambah jarak di antara mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/364232564-288-k440764.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024