Membuka Hati

7 3 0
                                    

Apa kamu enggak malu berteman denganku?

Ruangan itu lengang. Ray kembali menunduk, menekuri karpet kelabu. Ia tersentak ketika tas biola yang ia dekap tiba-tiba ditarik.

"Apa, Ray?"

Suara itu terdengar tajam. Ray gelagapan, tasnya sudah berpindah tangan. Belum sempat ia bicara, Arin kembali menyerbu.

"Kamu kira, apa alasanku enggak pernah kasih alamat rumahku selama sekolah?" Suara Arin gemetar. "Kenapa aku sok misterius, datang pertama, pulang terakhir, demi memastikan enggak ada yang buntutin?"

"Rin—"

"Aku enggak mau ada yang tahu rumahku, Ray!" seru Arin. "Aku takut dua hal: mereka cari muka, atau jadi segan dan bawa-bawa status sosial. Makanya, aku ... agak gimana gitu, pas sadar kamu kenal ayahku ...." Suara Arin agak bergetar. "Untung, itu sudah hari wisuda, setelahnya aku enggak ketemu anak sekelas lagi."

Ray menelan ludah. "Dan aku enggak tahu kalau kamu anaknya Mister."

Arin menghela napas. "Intinya, jangan sungkan, Ray. Aku enggak tahu apa-apa aja yang bikin seseorang segan. Apa dengan tahu aku anak dari gurumu, kamu bakal menjauh? Atau karena aku tinggal di rumah besar dengan banyak pelayan, lalu kamu mengecapku manja?"

"A-aku enggak bilang kamu manja," gumam Ray. Ia ingat lagi cerita Siti tentang Arin yang membantunya di rumah. Arin yang tadi jelas-jelas membantu memasak makan siang untuk keluarganya.

"Kalau begitu, kenapa?" Suara Arin meninggi. "Apa aku kelihatan malu ke rumahmu? Aku justru bahagia di situ. Bisa dekat dengan keluarga, makan sambil bercanda, mengurus kebun dan masak dari sana, dan ...." Arin yang sejak tadi menengadah menantang mata Ray, kini menunduk. "Punya akses sangat dekat ke danau ...."

Lagi-lagi hening. Hanya suara dengung pendingin ruangan yang mengisi.

"Maaf," ujar Ray akhirnya.

Arin mengangguk. Ia, masih membawa tas biola Ray, berjalan ke arah sebuah piano yang terletak di salah satu sudut, lalu kembali merepet tanpa diminta. "Sering ada sesi rekaman di sini, makanya layout ruangannya kayak begini. Kamu udah pernah ke sini belum, sih?" Ia menunjuk ke tengah-tengah ruangan di mana terdapat grand piano.

Ray merebut tas biolanya dari Arin. "Enggak tahu. Lupa," jawabnya.

"Jangan judes, dong."

"Apa aku kedengaran judes?" Ray sungguhan tidak bermaksud.

Arin mengangguk. "Tapi manusiawi, kok. Oh, lihat ini." Ia membuka penutup piano, lalu meraih sesuatu. Map berisi partitur. "Kamu suka musik klasik, 'kan? Mau main lagu siapa? Chopin? Beethoven?"

Ray mengerjap beberapa kali. "Kamu ... bisa maininnya?"

"Jangan yang susah-susah." Arin agak merengut. "Aku harus sambil lihat partitur."

"Pas dulu, kamu bisa enggak lihat ...."

Arin terdiam sesaat. "Iya, ya. Kok bisa ya?"

"Emang Chopin bikin piece buat biola?"

Arin mengangkat bahu sambil menyeringai. Ia menunjuk map di tangannya. "Lihat yang di sini aja."

Ray mengamati isi map itu. Kebanyakan untuk tingkat pemula. Meski begitu, bukan berarti musik yang dibawakan tidak indah. Ia mengambil satu set kertas dan menunjukkannya ke Arin.

Arin mengangguk. "Aku suka lagu ini."

"Beneran?"

"Bener. Aku hafal depannya." Arin memosisikan dirinya, lalu menekan beberapa tuts piano untuk memastikan sudah tersetel. Tak berapa lama, terdengar alunan melodi yang ringan dan mendayu-dayu dari piano. Humoresque oleh Dvořák.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang