Kabar

11 3 0
                                    

Ada beberapa hal yang tampak begitu-begitu saja setelah sekian lama, meski perubahan itu tetap ada.

Seperti grup band "Mededader", tempat Ray selama ini unjuk kebolehan.

Dua tahun berlalu, personel mereka tidak bertambah. Masih berisi lima orang lelaki, masih tampil setiap sore kecuali jika ada hal mendesak lain. Yang berbeda mungkin statusnya. Darto, yang paling tua, baru saja menikah beberapa pekan lalu. Yang lain pun sudah tidak lagi berstatus single alias sudah punya pacar. "Yang lain," karena Ray belum ... atau tidak.

Bukan karena Ray tidak laku. Ingat bagaimana sejak dulu ia selalu jadi topik bisik-bisik para perempuan, terutama yang tidak mengenalnya, alias hanya melihat tampang? Begitulah. Kalau saja sifatnya yang meledak-ledak bisa dikurangi, mungkin Ray sungguhan jadi idaman para wanita.

Namun, Ray tidak peduli. Sejak kapan ia peduli selain ke biolanya? Maka, ialah sosok yang tidak berubah itu. Yang ada, sekarang, ia sedang ketar-ketir. Pasalnya, tak lama lagi, ia berusia 18 tahun, dan ia belum menemukan tujuan hidup. Janjinya pada sang ayah harus ia tepati, dan ia belum ingin pergi.

"Randi, tumben kamu diem. Biasanya tiap hari ada aja bahan gangguin Ray," komentar Eki sambil asyik mengudap kue lapis. Lagi-lagi, itu dari Ray yang membawakan titipan ibunya. Kebiasaan itu berakhir baik, para personel Mededader kini langganan kue buatan Siti.

"Lo, kamu enggak tahu kalau Randi diem itu kenapa?" celetuk Danang sambil tertawa-tawa. "Karena dia jaim!"

"Dan kalau dia jaim, berarti ...." Darto menyambung.

"Ssssh. Pacarku lagi tumben mau kuajak ke sini. Dari dulu nolak terus," ujar Randi akhirnya.

"Makanya itu alasan kamu bengong?" sahut Ray. Suaranya menajam. Bagaimana tidak kesal, saat bermain tadi Randi beberapa kali celingukan sehingga tak jarang salah memainkan akor. Perfect pitch Ray terganggu.

"Jomlo diem!" Randi terpancing.

"Woi, katanya mau jaim?" Danang tambah terkekeh.

"Enggak usah jaim. Katanya, cewek suka yang bad boy," sahut Ray lagi. Celetukannya malah membuat Danang makin tertawa.

Tampak betul Randi berusaha menahan emosinya, meski tatapannya ke Ray tak bisa dibohongi. Ray hanya angkat bahu. Ia duduk berlutut dan mulai mengemasi biolanya, tak lupa ia cek isi kotak bekal dan keranjangnya yang sudah kosong.

"Sudah mau pulang, Ray?" sapa Darto. "Tunggu sebentar. Istri saya lagi jalan ke sini, udah nyiapin sesuatu buat kalian, katanya."

"Asyik!" Eki dan Danang kompak bersorak.

"Enggak kasihan istrinya, Bang? Jalan sendiri gitu?" tanya Ray.

"Kalau memang itu kemauannya, kenapa harus kasihan?" Darto tertawa pelan. "Lagian, cuma jalan dari warung sana kok. Dari tadi dia di sana."

Ray melihat ke arah yang Darto tunjuk. Namun, alih-alih menemukan Mbak Sarah, istrinya Darto, Ray malah bertatapan dengan orang lain yang begitu ia kenali.

Beberapa detik, ia hanya mematung.

"Uwogh, bener! Aduh, aku malu!" Sosok perempuan itu sontak menutupi wajah.

Ray terjajar mundur. Ia yakin pasti mengenali perempuan itu, namun pikirannya buntu.

"Nes!" Randi tiba-tiba muncul di sisi Ray. "Kenapa?"

Nes? Agnes?

Gadis itu membuka tangan yang menutupi wajahnya perlahan. Ia masih menunduk, pipinya bersemu, senyumnya terkulum. Rambut sebahu yang dipotong rapi, kali ini menggunakan jepit bunga. Tidak salah lagi, Ray mengenalinya.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang