Teka-Teki

3 2 0
                                    

Krek.

"Arin?"

Ray masih menatap kosong es krim yang perlahan mulai mencair di tangannya, ketika ia melihat seseorang melangkah, dan berdiri tertegun tepat di hadapannya.

"Eh?"

Sebenarnya, Ray sendiri juga heran. Ia baru bangun. Ia tak tahu bagaimana "mestinya" pasien yang baru bangun, apalagi setelah satu bulan. Yang ia tahu, rasa sakitnya kembali, begitu pula seluruh—atau hampir semua—ingatannya. Bukan hanya itu, Ray juga merasa harus segera berpikir. Ada yang genting. Ia tak bisa hanya bengong di kasur, sementara ingatannya bergolak.

Ray menggerakkan jarinya, amat pelan, ke depan bibir. "Dia tidur," jawabnya lirih.

"Eh?" Sosok itu masih terpaku.

"Tolong ... aku kesemutan."

"Eh?"

"Eugeo Amirullah, setop eh ah eh ah begitu. Es krimnya mencair."

"Ray?!" Sosok itu akhirnya mengucap kata lain. "Sumpah. Ray? Syukur alhamdulillah. Ya Allah!" Eugeo langsung meraih es krim di tangan Ray, tanpa ba-bi-bu asal memasukkannya ke kulkas. "Ray, mana kukira kamu duduk njeplak di sofa begini?"

"Aku juga enggak kira." Ray mencoba nyengir. "Tolong, Arin ... dia niban aku."

Posisi Arin sejak tadi memang terus menggelosor, sampai sempurna bertumpu dan berbantalkan paha Ray. Ray sendiri kesemutan, tetapi sulit bergerak, karena memang masih lemah. Kalau ditanya sakit, ya, terutama bagian belakangnya, dari tengkuk sampai pinggang, sakit semua. Namun, bukan karena Arin. Itu sudah terasa sejak ia baru bangun.

"A-apa kamu mau ke kasur?" tawar Eugeo setelah sigap menyandarkan Arin ke bantal sofa.

Ray mengangguk. Ia merasa begitu kotor, tetapi ia tak yakin akan dibolehkan mandi. Langkahnya berat, apalagi dengan adanya kateter di ujung saluran kemihnya.

Kali ini, Eugeo bisa memapah Ray, berhubung tinggi mereka tak beda jauh. Tetap saja, keduanya terengah ketika akhirnya Ray bisa kembali tiduran.

"Kalian ... habis ngapain?" tanya Eugeo. Wajahnya agak sedikit tegang.

"Eng ... ngobrol?"

"Ray, jangan paksakan dirimu. Kamu trauma kepala. Aku ... aku mau bicara banyak, tapi aku lebih peduli kesehatanmu, oke?" Eugeo benar-benar terlihat cemas. "Kalian keluar kamar?"

"Ya, sebentar. Ke balkon. Aku butuh sinar matahari ...."

"Ah." Eugeo mengangguk, meski ekspresinya tak berubah. "Kapan makan malam dibawakan? Perlu disuapin?"

".... Geo." Ray memegangi kepalanya. "Kalau aku dipaksa mengingat, kira-kira apa yang akan terjadi?"

"Sakit kepalamu tambah parah! Lagian, mau ingat apa, sih?"

"Aku ... cuma mau bilang satu hal yang kuingat. Mungkin aku lupa beberapa hal, tapi aku sangat ingat ini." Ray mengerjap beberapa kali. "Aku bukan salah arah ketika menyelamatkan Arin. Aku menjauhinya dari sumber ledakan keempat."

Begitu selesai bicara, Ray langsung mual dan muntah. Eugeo sibuk mengomel sambil membersihkan sisa-sisa muntah yang mengenai selimut. Ray hanya cengengesan. "Lo, kita 'kan bisa ketemu di mimpi. Ngobrol di sana aja." Sungguh sebuah saran yang ngawur.

"Mana mungkin aku bawa-bawa topik beginian ke alam mimpi!" Eugeo masih terdengar dongkol. "Lagipula, sebulanan ini, aku enggak bisa masuk ke mimpimu. Apa yang terjadi? Kamu tidur apa mati, sih?!"

"Kenapa kamu ngomelnya lebih tajam dari Arin," keluh Ray. "Aku akan cerita. Aku lebih ingat mimpiku daripada ... apa pun yang terjadi hari itu."

****

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang