Janji

12 2 5
                                    

Sejak malam itu, jika keluar rumah, terutama jika berencana sampai malam, Ray tidak pernah lagi bertangan kosong. Ia selalu membawa tongkat sepanjang pedang anggar yang dia buat sendiri ketika baru pulang dari kampungnya. Kadang, ia rindu latihan, tetapi sangat sulit mengontak pelatihnya, Nugi, selain lewat surat.

Untuk meredakan perasaannya yang terserak setelah pembicaraan bersama para bapak tempo hari, Ray sudah memantapkan dirinya: ia akan menjaga Arin. Masa bodoh soal perasaan, itu belakangan saja. Yang penting, ia bisa menunjukkan kalau dirinya bertanggung jawab. Apalagi tiap diingatnya luka sayat di tangan Arin, perkataan gadis itu soal hidup ... dan perempuan dari garis keturunannya yang meninggal muda. Makin dipikirkan, Ray makin kuat bertekad.

Beberapa hari lalu, polisi memberi kabar. Rumah tempat Arin disekap sudah digrebek, kosong melompong. Orang misterius di sekitar rumah Ray juga menghilang tanpa jejak. Dalam beberapa hari, jika di dalam kota tidak ditemukan pergerakan berarti, operasi pengamanan akan dievaluasi ulang. Itulah hari ini, ketika semua petugas pengamanan ditarik, dan kewaspadaan Ray meningkat pesat.

Ketika Ray melihat Arin muncul di alun-alun bersama Vanes, yang terpikir pertama adalah perasaan ingin melindungi. Ray senang-senang saja ketika Arin selalu mepet dirinya. Arin masih sama seperti yang Ray kenal. Ia jadi agak lega.

Vanes menitipkan keamanan Arin padanya. Ray tahu, itu amanah. Maka, ia tetap menunggu Arin sampai masuk pintu rumahnya, alih-alih langsung pamit seperti biasa.

Namun, bukan hanya itu.

Kemarin, sambil mengantarkan biola pesanan ke toko musik, Ray sempat membeli sesuatu. Ia tak yakin benda itu akan mengobati kesedihan Arin perihal kondisi tangannya, tetapi semoga bisa membuatnya sedikit lebih senang. Perempuan senang diberi hadiah, bukan?

Ray meraih tangan kanan Arin. Balutan perban itu lagi-lagi menusuk hatinya. Ray menelan ludah sebelum meletakkan bungkusan kain berpita itu ke tangan Arin.

"A-apa ini?"

"Aku juga enggak tahu." Enggak tahu cara maininnya, lanjut Ray dalam hati. Selanjutnya, ia menyuruh Arin segera masuk ke dalam. Makin lama di luar, perasaan Ray makin tidak enak. Ia berpaling ke jalan.

"Lah, gimana sih Eki, katanya mau nungguin," gerutu Ray pelan. Ia melihat Arin sudah menutup pintu rumahnya. Ray menghela napas, lalu menggenggam sesuatu yang sejak tadi ia rekatkan ke tas biolanya.

Tongkat kayu pendek itu.

Ray berjalan pelan ke halte, sibuk mengawasi kanan-kiri. Mengapa malam ini begitu sepi? Ia akhirnya berinisiatif ke gerbang depan, mencari pos satpam.

Lampu di dalam pos satpam itu menyala, tetapi tak ada orang di sana. Apakah sedang patroli? Mungkin saja. Ray menelan ludah. Yang penting, Arin sudah masuk rumah. Soal apakah ia aman atau tidak, itu belakangan. Ray bisa menjaga diri. Meski begitu, ia masih merutuki teman-temannya yang langsung pamit dan menghilang begitu saja.

Kecemasan Ray beralasan.

Ia baru sampai di halte ketika melihat sesosok laki-laki dengan hoodie hitam, bersandar ke lampu jalan tepat di belakang halte.

"Malam yang sepi, bukan?"

Ray berhenti melangkah.

"Ray?"

"Jim." Ray berbalik, berusaha tidak kaget mendengar namanya disebut. "Di mana kamu sembunyi selama ini?"

"Bukan urusanmu. Urusanku biar enggak ketahuan polisi." Jim, yang sejak tadi bersedekap sambil menunduk, perlahan mengangkat wajah. Ekspresinya terhalangi poninya yang panjang, tampak sengaja untuk menyembunyikan wajah.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang