Sejarah

7 3 9
                                        

Bab ini bikin saya sendiri sakit perut

Aaaaaaaaaa

Oke, selamat membaca

****

Selama Mededader libur, Arin tetap ke alun-alun, sambil menyeret Eugeo. Kata Ray, ia tetap akan tampil, dengan dalih mengisi waktu. Namun, menurut Arin, Ray sedang butuh pekerjaan tambahan. Ia jadi ... prihatin.

"Kenapa, Nak? Ray itu sudah sibuk siangnya, mau Ayah tambahin kerjaan apa lagi?"

"Enggak tahu, Yah. Aku merasa bersalah melihat dia kerja keras begitu. Entah demi aku atau bukan, aku enggak mau geer. Tapi ... apa kita enggak bisa memberikan bantuan?" Arin merengek.

Nuris menggeleng. "Laki-laki pantang menerima bantuan."

Arin sudah tidak pernah ke rumah Ray lagi. Toh, Ray selalu menyambanginya. Eugeo juga seperti mewanti-wanti, masa cewek main ke rumah cowoknya terus? Meski Eugeo mengakui kalau keluarga Ray itu menyenangkan dan membuat betah.

Namun, satu hal lucu terjadi. Arin melihat Ray bisa sangat cepat akrab dengan Eugeo. Ia sendiri tak menyangka mereka bisa begitu dekat, mengingat dirinya, juga seluruh Mededader, butuh waktu agak lama sampai bisa mengobrol tanpa jawaban judes dari Ray—itu pun Ray masih sering kelepasan menyindir.

Kenapa mereka bisa dekat hanya dengan ditinggal semalam? Adalah pertanyaan Arin. Ia pernah menanyakan ke Eugeo, tetapi Eugeo sendiri menjawab tidak tahu. "Tiba-tiba dekat," begitu katanya.

Jawaban yang tidak memuaskan Arin. Namun, ia tak tahu bagaimana cara mencari tahunya. Ia sempat bermimpi aneh, pula. Ray dan Eugeo jadi tak terpisahkan. Ke mana-mana berdua. Mengobrol bisik-bisik berdua. Bahkan tak menganggap keberadaan Arin. Mimpi yang membuatnya pening, berakibat seharian ia marah-marah ke Eugeo.

Jika ditakar, Arin merasa rasa sayangnya pada dua lelaki itu imbang. Meski Eugeo terkesan sebagai orang yang baru muncul, tetapi ia ingat masa-masa yang sudah mereka lalui dulu, dan melihat Eugeo sekarang, Arin tahu, saudara sepersusuannya itu tidak berubah. Sementara, Ray, apalagi yang mau dipertanyakan?

Hanya ada satu hal yang Arin masih tidak tahu, karena ia tak berani menanyakan ke orang tuanya: asal Eugeo.

Beberapa hari terakhir, Arin cukup sibuk rupanya. Meski sudah dibantu Nuris dan Vanes, ia tetap kelimpungan mengurusi berkas-berkas pernikahan. Mengapa harus ada berkas di dunia ini? Arin sudah terbiasa dengan aneka dokumen milik ayahnya, tetapi miliknya sendiri? Ia hampir tak pernah menyimpan surat resmi. Saat bertemu Ray, lelaki itu hanya senyam-senyum.

Maksudnya apa?

Paling tidak, Arin tahu, urusan printilan itu sudah selesai.

Malam kemarin, Danang membagikan undangan. Arin memandanginya sambil tersenyum. Ia sedikit kenal dengan calon istri Danang yang sesekali datang ke alun-alun dan menonton mereka. Tanggalnya, minggu depan. Arin menghela napas.

Akankah aku sampai ke minggu depan?

Ia tahu, Senin, besok, ada yang menunggunya. Namun, pikiran berat tak kunjung lekang dari benaknya. Jika hal baik terjadi terus menerus, Arin justru berpikir sebaliknya. Ia teringat masa lalunya—sebagian masih terlupakan, dan itu memang hal wajar, yang penting potongan penting memorinya soal Eugeo sudah kembali. Selain itu, ada yang mengganjal.

Soal Jim.

Lelaki itu bagai hilang ditelan malam, sejak satpam melaporkan pascainsiden Ray dicekik tempo hari. Soal bagaimana Jim tahu panggilan lamanya, dan janji apa yang disinggungnya.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang