Eugeo tampak kelelahan.
Arin membiarkan lelaki itu tertidur begitu saja, di sofa, masih berpakaian lengkap. Ya ampun. Peluhnya masih bertimbulan di kening. Arin mengambil handuk, lalu mengusap wajah Eugeo.
"Adik"-nya itu tampak tidak baik-baik saja.
Arin juga, sebenarnya. Perkataan Eugeo memunculkan aneka spekulasi. Tadi, Eugeo berkata ia akan pergi besok pagi, dan selama itu, Arin tidak boleh ke mana-mana.
Memang, mau ke mana?
Arin menggeret sebuah bangku, lalu duduk di sebelah kasur Ray.
Bisa dibilang, genap sebulan sudah Ray membeku di sana. Arin sudah tak berharap lagi. Setiap hari adalah sama. Setiap hari adalah harap-harap cemas penuh kepalsuan. Arin menggenggam tangan Ray, membuka Al-Qur'an, lalu mulai membacanya. Surah An-Nisa. Arin terus baca sampai suaranya serak.
Kondisimu sudah baik-baik saja, Ray. Apa yang menghalangimu dari bangun? Kamu tinggal bangun, 'kan?
Arin terbatuk. Bacaannya terhenti. Saat itulah, ia baru menyadari bahwa matanya sudah berair. Bukan karena menahan kantuk, melainkan ia sudah menangis.
Lagi-lagi menangis.
Arin memang lemah soal perasaan. Ia cengeng. Ia tak kuat seperti yang Lizzy katakan. Kalau merasa sedih, merasa terluka, merana, dan tak adil, Arin akan menangis.
Sudah terlalu banyak perasaan yang bertumpuk; lepas sedikit, lalu kembali menggunung. Tak pernah tumpah seluruhnya, selalu berusaha Arin tahan. Malam ini, ia biarkan semuanya luruh lewat air matanya.
"Ya Allah, apa salah Ray?" gumam Arin. "Apa yang harus kuperbuat supaya dia kembali sadar?"
Pukul sepuluh malam. Arin nyaris terjungkal ketika tiba-tiba ada yang memasuki kamarnya.
"Eugeo?" panggil Iskandar. "Rin, kamu enggak papa sendiri dulu? Semalam saja. Besok Umi bakal ke sini."
"Dia tidur," bisik Arin sambil menunjuk ke arah sofa.
Eugeo sigap terbangun begitu Iskandar sentuh. Mereka terlibat beberapa obrolan, yang Arin pikir mengarah ke bukti ... pelaku ... apalah.
"Kasih tahu dia?" Eugeo menunjuk Arin. Iskandar mengangguk. Maka, sambil menahan kuapan, Eugeo bicara. "Arin. Rumah yang katanya tempatmu disekap, ada tanda-tanda kehidupan beberapa hari terakhir ini. Karena kami menduga memang ada yang menerormu—kalian, maksudnya, kami anggap penculikan itu berkaitan dengan bom waktu itu."
"Demi alasan keamanan, Rin, jangan keluar," tegas Iskandar. "Kamar ini paling dekat dengan pintu ke lift. Abi sudah kasih tahu satpam yang berjaga untuk selektif menerima tamu. Kalau bisa, jangan terima tamu selain Umi, sampai kami kembali."
Arin mengangguk. Ia lelah karena selalu kena batunya tiap mencoba menentang suruhan. Kali ini, ia akan benar-benar menurut.
Keduanya pamit setelah itu. Tinggallah Arin dengan Ray.
"Ray, kita berdua lagi," bisik Arin. Entah sudah berapa kali ia mencoba mengobrol normal, meski tak ada reaksi. "Ray, kalau sudah sembuh, apa hal pertama yang mau kamu lakukan?"
Hening.
"Aku mau," Arin menunjuk ventilator, "mencabut alat itu, dan menciummu."
Arin memang sudah tak tahan. Ia ini istrinya Ray, bukan? Belum juga sehari semalam, belum juga lama mereka bermesraan, bencana sudah menimpa.
"Ray, aku selalu melupakan mimpi. Mungkin, kita pernah bertemu dalam mimpi, sebagai akibat tidurmu yang lama dan nyenyak itu. Tapi, aku dapat apa, Ray? Aku cuma kebagian menatapmu yang tak berdaya di sini." Arin kembali menggenggam tangan Ray, lalu menciumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Past (rewrite)
Romance[Cerita #1 Ours Series] Ada sebuah misi untuk menyatukan dua insan senatural mungkin. Nyatanya, misi itu merembet ke mana-mana, sampai menyinggung masa lalu yang rumit dan menyakitkan. [NA, Romance, Drama] ** story and cover by zzztare2024