Rencana

7 2 0
                                    

"Robohkan saja sekalian."

"Eh?"

Iskandar mengangguk yakin. "Dengan ini, sisa utangku akan lunas."

"Utang ... apa?" tanya Ray.

"Rumah Hutan ini memang murni Abi dan Umi yang membangun, tapi kamu tahu siapa yang membangun bengkel itu?" Iskandar menunjuk sisa-sisa bengkel yang tampak menghitam. "Kakekmu. Beliau memaksa untuk membuatnya, setelah tahu kami menolak tinggal di Rumah Bukit."

"Kenapa jadi utang?"

"Haha. Sebenarnya bukan utang. Tapi rasa enggak enak Abi ke saudara-saudara Abi." Iskandar tersenyum tipis. "Cuma Abi yang diperlakukan sebegininya."

Tapi itu karena Abi dan Umi dirundung selama tinggal di kampung sana, batin Ray. Itu adalah fakta yang ia ketahui sedikit-sedikit selama di kampung.

"Dengan merobohkannya dan membangun yang baru, Abi akan benar-benar berdiri sendiri, bukan?" Iskandar menghela napas. "Kita akan menambah ruangan di sini, Ray. Ruang permanen, entah dari kayu atau bata, buat bengkel baru."

Ray mengangguk. "Kapan?" Ia agak nyeri memikirkan anggaran.

Iskandar mengacak rambut Ray, meski anaknya itu lebih tinggi darinya. "Abi enggak akan mengutak-atik dana pernikahanmu."

"Tapi—"

"Tenang saja, Ray. Itu juga enggak gratis buatmu, tahu?" Iskandar tertawa kecil. "Sekarang, bantu Abi ... dengan menarik klien lagi. Atau cari kerja tambahan. Yang di sini, Abi bisa handle sendiri. Biasanya toko-toko musik itu perlu bantuan. Dan," Iskandar menjentikkan jari, "angkut semua viola, selo, kontrabas."

Ray menelan ludah.

****

Meski di luar panas terik, ruang tamu rumah besar itu tetap terasa sejuk. Ada sedikit hal baru yang Ray temukan. Bunyi gemericik, berasal dari salah satu pajangan yang mengalirkan air, seperti sebuah air mancur mini.

"Ray!"

Yang pertama muncul adalah Eugeo. Lagaknya seperti di rumah sendiri—eh, ini memang rumahnya.

"Mana Mister?" tanya Ray.

"Mister ... Mister. Boleh juga. Apa aku panggil Mister juga?" Eugeo mengelus dagunya. Ray menatap bule itu datar. Sudah diduga, Eugeo jarang serius. Sadar sedang ditatap, Eugeo langsung bereaksi. "Lagi jalan ke sini, kok. Kenapa? Enggak nanyain Arin juga?"

"Enggak perlu," jawab Ray. Suaranya tetap datar.

"Ah, enggak perlu, apa takut salting?"

Ray diam saja sementara Eugeo melonjak-lonjak di kanan-kirinya.

"Geo, yang sopan ke tamu," tegur Nuris yang tiba-tiba muncul.

"Ayah masih menganggap dia tamu? Bukannya—"

Ray mencubit lengan Eugeo. Bule itu langsung diam, sementara Ray membungkuk. "Permisi, Mister. Saya izin bertanya soal kerja sama dengan orkestra Anda."

"Oh, ya!" Nuris bertepuk tangan sekali. "Besok, mereka akan ke sini, Ray. Kamu bisa dengarkan langsung keluhan mereka dengan instrumen masing-masing."

"Besok, ya." Ray mengangguk. "Terima kasih, Mister."

"Baik, cukup urusan profesionalnya." Nuris berdeham. "Masuk dulu, Ray? Kebetulan sebentar lagi waktu makan siang."

"Ah ...." Ray biasanya akan dengan senang hati mengiakan, tetapi kali ini, ia ragu. "Maaf, Mister. Hari ini saya agak sibuk."

"Sibuknya ditunda saja setelah makan. Ishoma ini, ishoma. Istirahat, sholat, makan!"

Sepertinya, Nuris tak menerima penolakan. Ray akhirnya mengiakan, berkata akan menyusul. Ketika akhirnya tinggal berdua saja dengan Eugeo di ruang tamu, barulah ia bertanya. "Arin di mana?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang