Dosa

8 2 0
                                    

Memang benar, ada kalanya Eugeo terbiasa "berlindung" di balik punggung Jim. Namun, itu ibarat meminta perlindungan ke orang yang membuat masalah itu sendiri.

Butuh waktu dua tahun sampai nyali Eugeo tak terbendung. Ia keluar rumah dengan cara yang ekstrem: memecahkan kaca jendela. Jaket dan tasnya robek sedikit, tetapi siapa peduli? Besok adalah hari audisi terakhir, makanya Bapak mengurung Eugeo di kamar. Bertepatan dengan menumpuknya emosi Eugeo, dari segala perlakuan yang ia dapat.

Eugeo rindu rumah lamanya, sekaligus juga takut. Apa Jim sudah sampai sana? Apa yang dilakukan Jim di luar waktu kuliahnya? Atau malah jangan-jangan kuliah itu hanya kedok? Jim hanya mau menemui Dina, bukan?

Semua kecurigaan itu Eugeo simpan rapat-rapat. Ia sendiri kaget karena berhasil nekat dan sampai ke Kota Gunung entah dengan cara apa. Tanpa buang tempo, ia segera ke rumah yang sangat ia kenali itu. Rumah besar itu nyaris tak berubah, bahkan Eugeo masih mengenali satpamnya. Satpam itu seperti jantungan saat melihat Eugeo. Suaranya gemetar ketika mengantar Eugeo sampai ke depan pintu. Namun, pelayan yang muncul kemudian tidak mengenali Eugeo. Ia malah kena usir.

Dina enggak ada. Jangan pura-pura!

"Kenapa sensi begitu?" gumam Eugeo. Ia menghabiskan waktu mengelilingi sekitar, hingga akhirnya bersantai di alun-alun, tempatnya menemukan Mededader, plus Dina—Arin, juga Ray.

Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Eugeo paham, sangat mungkin bagi saudarinya untuk berteman akrab dengan orang lain dalam rentang waktu itu. Namun, bertunangan! Hal itu di luar ekspektasi. Eugeo sempat merasa tak rela. Kemudian, pengakuan dari Arin, termasuk soal cerianya yang hilang bertahun-tahun, membuat Eugeo sadar: ia masih berharga.

Yang jelas, Arin enggan menyebut ciri jelas penguntit itu. Eugeo merenung semalaman di kamarnya, memikirkan aneka kemungkinan. Kesimpulannya, hampir pasti, orang itu Jim. Kata Arin, sejak kira-kira dua tahun lalu, ia merasa diikuti. Jim pamit kuliah dua tahun lalu, lebih malah. Linimasa itu sesuai.

Ray bilang, jangan-jangan, Eugeo juga diincar karena sering bersama mereka. Arin berkata, harusnya mereka jaga jarak, biar Eugeo tidak ikut terseret. Namun, Eugeo tahu: sejak awal, ialah yang ditunggu. Jim sengaja memberinya foto itu karena mau Eugeo menyusulnya. Mungkin, ia ingin dibantu dalam hal hubungannya dengan Arin. Ray adalah variabel di luar prediksi siapa pun. Karena itulah, Ray ikut kena, dan justru yang paling parah.

Kalau Arin tidak sedang mengajaknya sesuatu, Eugeo bergerak sendiri. Tak jarang ia keluar rumah untuk mengamati sekitar, awas mencari-cari apakah ada keberadaan Jim di sana. Namun, nihil. Ia hanya merasa bahwa kebakaran bengkel tempo hari amat mencurigakan dan mungkin berkaitan dengan penguntit yang mengincar Arin dan Ray ... yaitu Jim. Ditambah lagi, suara ledakan itu bisa dibilang tepat setelah Ray dan Eugeo turun dari bus.

Ada yang mengintai?

Spekulasi demi spekulasi menghantui Eugeo. Namun, ia menutupnya rapat-rapat. Ayah, polisi, semuanya tahu bahwa Eugeo adalah "pendatang baru," tidak bisa dimintai banyak keterangan. Eugeo juga masih ingat bus yang ia naiki untuk sampai ke sini, atau bukti apa pun yang menunjukkan bahwa ia memang dari luar. Ia merasa agak bersyukur. Kalau tidak, hampir pasti, ia jadi tersangka ... kecuali jika Arin mau mengingat dan bersaksi soal penculiknya.

Pasti mau, 'kan?

Satu bulan Ray tak sadarkan diri, proses penyelidikan tak selalu berjalan mulus. Bahkan ada satu pekan tanpa kemajuan sama sekali—bisa dibilang, satu pekan tanpa misi apa-apa. Baru sejak hari itu, ketika Eugeo merasa yakin bahwa ia melihat Jim di lobi rumah sakit, ada kemajuan. Rumah yang katanya tempat Arin disekap, tampak ada tanda-tanda kehidupan. Polisi bergerak lagi, fokus ke sana, meski tak dijumpai siapa-siapa. Sementara itu, Eugeo tahu harus melakukan apa.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang