Surat Kaleng

9 3 0
                                    

Entah sudah es krim keberapa yang Arin makan hari ini. Hatinya terlalu panas untuk didinginkan kudapan, sementara satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang sejak tadi tertidur.

Ray sudah mulai terapi fisiologi. Kata para dokter, ini keajaiban. Tidak sadar sebulan, tetapi fungsi tubuh dan fisiknya cepat pulih. Arin bahkan sudah bisa membantu Ray berjalan tanpa memapah, karena Ray sudah mulai mondar-mandir dengan walker. Karena itu, Ray jadi cepat lelah, dan lagi-lagi ... tertidur.

Lepas obrolan dengan Eugeo kemarin, Arin jadi jauh lebih penurut. Ia tak lagi melangkahkan kaki keluar kamar, sementara Nuris, Iskandar, Siti, juga Eugeo mengantarkan aneka makanan ke sana. Arin merasa, berat badannya bisa bertambah berkali-kali lipat saking jarangnya bergerak di sini.

Arin, Eugeo, dan Ray sudah bicara bertiga dan mencapai kesepakatan untuk menerima takdir. Alias, Arin akan setop menyalahkan dirinya sendiri, Ray juga bisa berhenti merasa terbebani atas aneka bayaran. Eugeo memediasi mereka dengan banyak tingkah. Bule itu seperti terlalu bahagia bisa berada di antara mereka.

"Kok aku cemas, ya," gumam Arin. "Eugeo lagi apa, sih? Dia bilang lagi enggak ada urusan ke kantor polisi, tapi bakal ke sini malam ...."

Arin kini mengudap keripik singkong di samping ranjang Ray. Sayang sekali, Ray belum bisa makan aneka keripik.

"Rin."

Arin berjingkat kaget. "Apa?" Ia tak sadar Ray sudah membuka mata.

"Suara ngunyahmu ... berisik." Ray bergeser ke sisi ranjang, lalu menyentuh tangan Arin. "Aku juga mau ... micin."

"Enggak boleh!"

Ray langsung memasang tampang memelas.

"Kerongkongamu masih lemah, Ray!"

"Kalau cuma micin aja, tanpa keripik?"

"Kamu mau jilatin jariku?" Padahal, jari Arin masih tertempel plester sana-sini.

"Mau."

Arin menyodorkan jarinya. Namun, begitu merasakan lidah Ray, Arin langsung salah tingkah. "Cu-cukup! Geli!"

Ray hanya tersenyum iseng.

Dasar. Dia menggodaku!

"Oke, balik serius. Aku ingat sesuatu, Rin. Aku akhirnya ingat!"

"A-apa?" Arin masih sibuk membersihkan jarinya.

"Aku ingat, apa yang aku ... ayahmu ... dan Abi bicarakan hari itu." Ray memegangi sisi ranjang, berusaha duduk. Arin segera membantunya.

"Jangan terlalu maksa, Ray. Nanti kamu muntah lagi," ujar Arin cemas.

"Enggak masalah. Aku lupa, tapi tiba-tiba ingat habis tidur barusan. Mimpi itu ajaib, ya."

Arin memicing, tak paham.

"Rumah kita, Rin!"

"Hah?"

"Aku bilang ke Ayah kalau aku punya rumah, tapi ... belum bisa disebut rumah. Makanya perlu renovasi. Tapi, aku punya rumah, Rin!"

Ray tampak begitu bercahaya. Arin jadi merasa silau. "Kamu punya rumah?"

"Aku enggak miskin!"

Lah, yang bilang miskin siapa?

"Aku ingat pas kamu bilang enggak papa rumah kecil, hidup sederhana, asal kekeluargaan. Kayaknya, aku harus menanyakan hal lain padamu." Ray menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Arin. Apakah kamu keberatan ... dengan hidup terpencil?"

"Terpencil?"

"Kamu besar di kota. Kamu terbiasa dengan kota. Aku enggak tahu apa kamu bisa bertahan kalau tinggal di rumah kecil, di atas bukit, jauh dari mana-mana ...."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang