Berbalik Arah

5 2 4
                                    

Siapkan hati untuk baca bab ini, karena ... (sebagian teks hilang)

****

Untuk satu hal itu, mereka memang sudah sepakat.

Ray belum bisa santai-santai, dan Arin sangat memakluminya. Mereka hanya butuh ikatan sah, segera, tanpa mengabaikan banyak aspek yang sudah dirundingkan dan disetujui kedua keluarga. Dan soal tampil, itu Ray yang ngotot sehingga para orang tua yang menyuruhnya istirahat atau cari angin—sehari itu saja—mengalah.

Agak lama Arin, Ray, juga Eugeo leyeh-leyeh di sofa ruang tengah. Arin bahkan sudah hampir tertidur saking nyamannya.

"Anak muda kok loyo," komentar Nuris.

"Sebentar, Ayah. Aku lagi jompo," sahut Ray, lalu semuanya tergelak.

"Kalian, istirahat, gih. Belum lihat 'kan kamarmu habis diapain sama pelayan, Rin?" Nuris mengedipkan sebelah matanya.

"Kamar ...?" Arin tiba-tiba tegang.

"Ya, kamar! Sini aku antar!" Eugeo sudah menarik Arin.

"Kejutan apa lagi ini?" tanya Ray datar.

"Jangan tarik aku! Aku bisa jalan sendiri, Geo!" Arin melepas tangan Eugeo. "Huf, sarung tangan ini dilepas saja."

Vanes menyambut Arin di muka pintu. Ia langsung memeluknya sambil menangis. "Huaaa, padahal aku akad Sabtu ini, tapi tetep aja keduluan kamu!"

"Mbak Vanes nikah di mana? Aku mau datang!" seru Arin.

"Enggak jauh, kok. Undangan buatmu sudah ada di kamar." Vanes mengusap wajahnya, lalu tersenyum. "Silakan masuk, Ratu."

Arin tak memedulikan Eugeo yang masih ribut dengan Ray, entah apa yang mereka perdebatkan. Pada pandangan pertama, tak ada yang berubah di kamarnya. Namun, setelah mengerjap, Arin melihatnya: jumlah bantal dan beberapa perabot yang bertambah, juga wangi aromaterapi.

"Kok jadi kayak kamar bulan ma—"

Arin tak melanjutkan kalimatnya. Bodoh, ia 'kan baru menikah. Dengan segera, Arin keluar dan mendapati Ray dan Eugeo sedang saling sikut.

"Ray!" Ia menarik lengan Ray. "Tinggalin aja Eugeo. Ikut aku!"

"Jangan sakiti saudariku!" Eugeo masih berseru ketika Arin sudah menyeret Ray menjauh.

"Yang menyakiti dia bakal berhadapan denganku!" balas Ray.

"Ssssh, masuk sini. Lihat, kursi yang ini ada dua, terus ada sofa panjang ...."

Ray mematung di pintu kamar setelah menguncinya. Pandangannya mengedar. "Rin, aku baru sadar, kamarmu gede banget. Dua-tiga kalinya kamarku ini."

"Oh, jangan bawa-bawa soal itu!" seru Arin. "Aku enggak tahu apa rencana Ayah dan lainnya sampai merombak kamarku enggak bilang-bilang, tapi ... itu berarti, ini ruangan buat kita, bukan?"

"Iya, Rin. Buat kita."

Arin terperanjat. Ray tiba-tiba mendekapnya, begitu erat. "Ray ...."

"Gimana aku bisa menyatakan syukur? Akhirnya, aku bisa bersamamu, selalu, tanpa penghalang, tanpa batasan." Ray merunduk, menumpukan dagunya ke bahu Arin. "Rin, sabarlah sedikit lagi. Aku akan membangunnya. Rumah kita sendiri. Katamu, kecil dan sederhana enggak papa, bukan?"

"Tung-tunggu, aku enggak bisa napas!" Arin berontak dari pelukan Ray, lalu buru-buru meraup udara. "Ya, aku sabar, kok. Sini, lihat dari jendela, pemandangan yang suka aku lihat kalau malam."

Keduanya berdiri di hadapan jendela besar, dengan ambang yang cukup lebar untuk diduduki beberapa orang sekaligus. Arin menyikut Ray, lalu menguap. "Aku ... bakal nurut kamu, apa pun agendamu hari ini, tapi ... mau tidur dulu."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang