Keinginan

9 4 0
                                    

Dari kecil, Ray tidak pernah punya niatan sekolah.

Iskandar adalah pengrajin biola. Beliau yang membimbing Ray untuk bermain biola sejak Ray masih kecil. Lebih tepatnya, sejak Iskandar memergoki Ray sedang mencoba memainkan salah satu biolanya. Marah? Tentu, tetapi emosinya surut ketika menyadari bahwa kekacauan yang dibuat Ray justru menunjukkan bakat. Karena itulah, Iskandar meminta bantuan temannya untuk membimbing Ray.

Temannya, Mister Noor Ismail.

Sejak umur lima tahun, Ray sudah digembleng soal biola. Pertama ikut konser umur tujuh tahun. Dua kali jadi concertmaster konser anak-anak dan itu lumayan membanggakan. Ray jauh lebih menyayangi biolanya daripada apa pun juga, lebih mementingkan pelajaran musiknya daripada sekolah yang ia masuki hanya untuk formalitas.

Juga SMP, yang ia masuki atas saran Mister, dengan janji akan kebebasan akses ke ruang musik dan gurunya: Pak Hanu. Sejak SMP, Ray berlatih dengan Pak Hanu dan tidak pernah lagi bertemu Mister—meski Pak Hanu hanya seorang guru musik sekolahan, tidak seperti Mister.

Benar. Ray sama sekali tak pernah melihat Mister meskipun itu di sekolah saat pengambilan rapor, atau kapan pun itu. Bahkan istrinya juga tidak. Yang Ray ingat, Dina selalu datang pertama dan pulang terakhir.

Lagi-lagi, Ray ingat Dina.

"Sayang sekali ya, di sini enggak ada sekolah tinggi khusus musik." Iskandar berceloteh selama Ray menemaninya membuat biola. "Ibumu belum bolehin kamu merantau jauh-jauh. Kamu sendiri gimana, Ray? Tertekan sama kemauan ibumu?"

Ray menggeleng. Ia sibuk mengaduk-aduk lem panas yang akan digunakan untuk merekatkan ribs atau sisi-sisi biola yang sedang dibuat ayahnya.

"Kalau dari dirimu sendiri, gimana? Dari kecil kamu lebih suka main daripada bikin biola. Apa kamu sudah memutuskan ke sana?"

"Abi, jangan tanya-tanya dulu," sahut Ray dengan intonasi setenang mungkin. Hanya kepada guru dan orang tuanya, Ray bisa menahan diri supaya tidak bicara judes. Ia menyiapkan lembaran kayu pinus yang akan dibentuk menjadi rangka biola.

"Habis, sepi, sih." Iskandar memberi kode pada Ray untuk memeriksa peralatan lain. Begitu Ray beranjak, Iskandar bicara lagi. "Kalau kamu masih belum memutuskan, jangan lupa nanti."

"Nanti?" Ray menoleh. Tangannya yang sedang memilah pisau kayu terhenti.

"Kamu tahu kenapa Abi membuat biola?"

Ray menghela napas. "Hobi."

"Bukan!"

Ray cengengesan, membiarkan Iskandar menjitak dirinya. "Iya, bisnis keluarga, 'kan? Tapi, Abi selalu ngusir aku kalau mau lihat proses pembuatannya dari dekat. Kalau aku enggak minat, itu salah Abi."

Iskandar geleng-geleng kepala. "Abi enggak punya mental seorang pengajar. Kalau kamu sungguhan berminat, dan kalau kamu belum bisa jadi musisi sukses pas umur 18 nanti, kamu bakal Abi kirim ke kampung."

"Kok kesannya kayak mau buang anak?"

Lagi-lagi, Ray kena jitak.

"Kamu tahu, kakekmu punya kursus, Ray. Beliau pembuat biola kenamaan, yang dulu belajar langsung ke Italia." Iskandar menghela napas. "Dan sampai sekarang, belum ada cucu beliau yang menuruni bidangnya."

"Apa Abi meminta aku buat melanjutkannya?" tanya Ray. Nada juteknya kembali.

Iskandar meletakkan kayu dan pensil yang hendak ia gunakan untuk membuat pola. Ia hampiri anak tunggalnya yang sudah hampir membalap tingginya. "Abi enggak minta apa pun darimu, selain kamu mulai memikirkan masa depanmu. Kamu enggak mau lanjut sekolah formal? Oke. Kamu mau berlatih tanpa masuk sekolah musik, oke. Kamu mau tetap tampil di alun-alun, oke. Lalu, apa, Ray? Kamu mau hidupmu begini-begini saja?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang