Overthinking

7 2 0
                                    

April 1996

"Emm ... Ray kabur."

Tiga orang yang baru datang itu langsung terdiam.

"Siapa yang kemarin ngasih kode seolah si paling laki?" Randi membenarkan kacamatanya, bergaya seolah karakter anime yang mendecih.

"Ahaha ... mungkin dia benci aku sekarang."

Pandangan lima orang lainnya langsung tertumbuk ke sosok baru di antara mereka. Sosok yang unik, karena berpakaian tertutup sampai ke kepala, alias berkerudung.

"Jangan gitu, Din—eh, Rin!" seru Agnes. "Dia emang aneh, tapi kayaknya bukan tipe pembenci!"

"Salahku ... ini salahku karena sok asyik." Arin kini mendekap tas trombonnya. "Harusnya, aku ngobrol normal dengannya, bukan malah sok judes. Harusnya, aku bisa berbaik-baik saja ... padahal, dia nyapa duluan, lo. Enggak pernah mimpi aku."

"Apa Ray dulu sejudes itu?" tanya Eki.

Agnes yang mengangguk. "Capek aku selama SMP, apalagi pas akhir-akhir diminta jadi pendampingnya. Tiap diajak, jawabnya galak banget. Ke dia apalagi. Entah ada masalah apa." Ia menunjuk Arin.

"Ternyata dia pengecut." Danang dan Eki saling sikut.

Darto berdeham. "Ada yang tahu, Ray berangkat kapan? Seingat saya, dia cuma bilang kalau malam ini adalah malam terakhirnya ke sini."

"Malam ...." Arin berpikir sejenak. "Oh, ya. Aku juga harus pulang." Ia mundur setapak, lalu membungkuk kecil. "Salam kenal, Mededader. Aku Dien Ariannisa, teman SMP Ray dan Agnes. Bisa panggil aku Arin saja."

"Kenapa enggak Dina?" tanya Agnes, tetapi malah kena pelototan Arin. Ia buru-buru mengalihkan pertanyaan. "Kamu tuh bisa ngobrol normal lo, Rin. Kenapa pas SMP hening banget kayak batu?"

"Aku juga enggak tahu. Aku merasa habis kehilangan sesuatu, entah apa. Enggak ingat." Arin mengetuk kepalanya sekali. "Oh ... malam ini dan besok, masih ada tahlilan di rumahku. Kalian bisa ke sana, kalau ada waktu."

Grup kecil itu hening lagi.

Arin menelan ludah. Ia tidak pernah mengundang orang ke rumahnya sama sekali. Bahkan dulu, ia bersikeras tidak menjawab pertanyaan Agnes soal rumahnya. Biarlah, itu dulu. Sekarang, ia adalah Arin, bukan Dina.

Apa pula hubungannya dengan nama panggilan?

"Bolehkah?" tanya Agnes pelan. "Sekarang masih ada? Aku enggak tiap hari bisa keluar malam ...."

Hanya Agnes yang menyanggupi undangan Arin. Pasalnya, yang lain merasa pakaian mereka kurang pantas, sama seperti Ray tempo hari. Begitu tiba di depan rumah Arin, Agnes langsung terpaku.

"Besar banget," gumamnya.

Arin tak menyahut. Ia justru menunduk dalam. Di halaman rumahnya ini, jarak antara gerbang dengan pintu depan ini, ia selalu merasa buruk.

Sesuatu terjadi di sini, tapi aku enggak tahu apa ....

"A-aku paham kenapa kamu enggak pernah mau ungkit rumahmu di sekolah dulu." Agnes tergagap sambil mengintili langkah Arin. "Maaf ...."

"Enggak apa-apa. Itu akunya juga yang terlalu kaku." Arin menghela napas. Mengingat masa SMP, sepertinya, tidak pernah ada kata damai antara dirinya dan Ray. Bahkan hari wisuda, ia lagi-lagi tantrum ... dengan disaksikan Ray.

Ruang tamu masih sama, dengan aneka perabot yang dipinggirkan, memberi ruang untuk menggelar karpet dan sebagai tempat duduk para tamu. Agnes duduk di salah satu sudut, sementara Arin terus melangkah masuk, mengabaikan padangan orang-orang padanya.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang