Perasaan

4 2 0
                                    

Sesi makan siang sudah hampir selesai. Sisa-sisa makanan dan piring kotor sudah ditumpuk, tinggal diangkut ke cucian piring.

"Ray habis ini tinggal finishing," ujar Iskandar tiba-tiba. "Rin, kamu mau lihat prosesnya?"

"Eh? Proses apa?"

"Pembuatan biola," sahut Siti. "Lihat-lihat, gih, mumpung dibolehin. Para lelaki ini jadi temperamen kalau lagi sibuk bikin biola, biasanya. Dipanggil dikit jawabnya galak."

Iskandar dan Ray kompak menggaruk kepala.

"Kalau tinggal dipernis, enggak perlu konsentrasi tinggi." Iskandar berdalih.

Arin menatap Ray penuh harap. Yang ditatap malah cengengesan.

"Ya sudah, habis ini ya."

Agak di luar ekspektasi Arin, rupanya bagian dalam bangunan "bengkel" itu sejuk. Tampak biola tergantung berjajar di tembok dan sebuah rak gantung. Arin tak tahu itu sudah jadi atau belum, dan apakah semua dibuat oleh satu orang atau tidak. Terdapat aneka alat ukur, benda tajam seperti pemahat, dan gergaji di satu meja. Beberapa benda lain yang tampak seperti cetakan biola tergantung di papan yang dipaku ke dinding kayu. Sebuah jendela cukup memberikan penerangan ke meja yang tampaknya merupakan meja utama di ruangan itu. Tampak bekas-bekas kesibukan di sana: potongan dan serpihan kayu, bubuk gergaji, pensil, alat pemahat, amplas, kertas, dan benda-benda lain yang tidak Arin pahami. Terdapat dua lampu meja ukuran besar yang menyorot ke arah yang berlawanan.

"Ini yang baru dibuat." Ray menunjukkan sebuah biola, utuh, hanya masih sewarna papan dan belum berdawai. "Tinggal dilapis, dikeringkan, dicat, dipernis, keringkan lagi ... baru dipasang pelengkapnya." Ia menunjuk satu lagi. "Ini busur, bow, yang buat gesek. Kamu tahu lah ya."

Arin mengangguk. "Itu, yang putih-putih halus ... kayak rambut, apa?"

Ray menyeringai. "Itu memang rambut. Rambut kuda."

Arin tersedak mendengarnya.

"Ray, sini," panggil Iskandar. Ia sudah memakai celemek, dan memberikan satu celemek ke Ray. Arin merasa geli melihat kedua lelaki itu memakai celemek, ketika ia dan Siti yang memasak justru tidak memakai atribut apa-apa.

Ray menghampiri Iskandar sambil membawa biolanya. Arin memperhatikan saat Ray mengecat seluruh lapisan biola itu dengan cairan yang mengilap.

"Setelah ini dikeringkan, terus bakal dicat dulu lapisan pertama," ujar Iskandar sementara Ray sibuk. "Lalu, harus ditinggal beberapa hari baru bisa lanjut dicat lagi. Tujuh lapis."

"Tujuh lapis cat?" tanya Arin takjub.

"Setelah kering, baru diberi lapisan terakhir, coating," lanjut Iskandar. "Ini, benda paling panas di ruangan ini. Chamber. Enggak bisa buat semua tahap pengeringan. Ada yang harus kering alami, makanya membuat biola enggak bisa buru-buru."

Ray tampak selesai melakukan tugasnya. Ia memasukkan bodi biola itu ke dalam chamber. "Habis ini diwarnai, kerjaanku hari ini selesai." Ia tersenyum ke arah Arin.

"Pasti mau izin main lagi," sahut Iskandar. "Sono gih, dasar anak muda."

"Kenapa Abi panggil aku jadi kayak Mister begitu?" keluh Ray. "Anak muda, tuan muda ... aku sakit perut mendengarnya."

Menunggu proses pengeringan agak lama. Tiga orang itu keluar bengkel. Iskandar malah mengajak ke danau.

"Ada spot lain di mana kalian bisa lihat danau dengan jauh lebih leluasa." Iskandar berkacak pinggang. "Apalagi kalau matahari terbenam. Tapi, Abi sendiri udah lama enggak ke sana ...."

"Bi," gumam Ray, seolah menegur.

"Kenapa, Ray? Kamu enggak mau?"

Arin tak paham maksud percakapan dua lelaki itu, tetapi ia bisa melihat ekspresi Ray ke ayahnya yang berubah garang, sementara Iskandar terkekeh.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang