Pamit

7 2 0
                                    

Entah apakah Randi terlalu posesif sampai gatekeep atau memang Agnes sedang sibuk, Ray masih belum menyampaikan langsung berita duka itu, karena Agnes tak kunjung muncul.

Ray tak mau bertanya langsung ke Randi. Ia telanjur kesal. Kata-katanya seolah menyudutkan dan menuduh Ray macam-macam. Meski begitu, ia tidak pundung berkepanjangan. Mereka rekan di Mededader, mereka tidak bisa saling meniadakan.

"Ray, kenapa akhir-akhir ini kelihatan lesu?" tanya Danang. "Dan ... ibumu enggak bawain kue lagi?"

"Mungkin aku sudah bukan anak mami," sahut Ray malas. Ia jadi ingat, ia belum mengabari perihal kepergiannya ke grup. Ray menghitung hari. Kira-kira, empat hari lagi, ia akan pergi. Malam sebelum keberangkatan, Ray tidak akan ke alun-alun, karena ia harus pergi pagi-pagi buta. Karena itulah, ia harus pamit secepatnya.

"Guys."

Ray tak menyangka, panggilan pelan yang ia ucapkan sambil menatap langit berhasil mendiamkan satu grup dan membuat mereka menoleh ke arahnya. Ray jadi gelagapan, ia kembali menengadah. "Kalau aku pamit, apa kalian cari pengganti?"

Tak ada jawaban.

Ray melirik takut-takut ke arah lainnya. Tak disangka, yang ia dapati adalah ekspresi syok dari empat orang lainnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Eki, akhirnya.

"Udah nemu karir?" Randi berujar tajam.

"Menurutmu, apa kita perlu pengganti?" tanya Darto. "Ray, kamu tahu, kami ini cuma hobbyst. Bukan profesional pemusik yang sebenarnya. Kalau kamu sudah menemukan jalanmu, itu seperti kami selama ini, yang kemari hanya untuk melepas penat. Kamu mau pamit?"

Ray menelan ludah. "Aku cuma bertanya."

Bohong lagi.

"Beneran, lo!" Eki menunjuk Ray dengan stik drumnya. "Jangan tahu-tahu ngilang!"

"Enggak tahu-tahu. Aku pasti ngabarin." Ray berpaling. Ia tahu, dari empat orang itu, Randi yang benar-benar menatapnya penuh selidik.

Hari itu berlalu. Hanya tersisa dua malam lagi untuk Ray berpamitan.

Masih, tiap malam, Ray selalu menyempatkan diri untuk melewati rumah Mister. Sesuai kata Vanes, selalu ada tahlilan tiap malam di sana. Selalu pula Ray melipir sebelum terlihat siapa-siapa. Ia sudah bicara pada Iskandar kalau ia akan menyempatkan diri ke sana di malam terakhir, dan Iskandar setuju.

Namun, keesokan sorenya, Ray mendapati hal yang tidak biasa. Semua dimulai dari ucapan Randi.

"Apa kamu tertekan karena jomlo?"

Lha?

Belum sempat Ray bereaksi, Danang sudah menyambar bahunya. Ucapannya membuat Ray tambah mengernyit.

"Ada anak baru!"

"Ini gara-gara aku tanya kemarin, jadi udah cari pengganti?" Ray melepas rangkulan Danang.

"Bukan di grup ini. Dih, geer." Danang mendecak kesal. "Ran, nanti kasih lihat."

"Kenapa nanti? Sekarang aja!" Eki mengacungkan stik drumnya.

Hanya Darto yang sejak tadi diam, meski mulutnya mengulum senyum. Ray sudah hendak bertanya padanya, tetapi keburu diseret Randi.

"Lihat ke sana?" Randi menunjuk satu arah. "Sejak kapan ada pertunjukan lain di sana? Musik pula! Dia solo!"

"Hah?" Ray memicing. Di arah yang ditunjuk Randi, ia melihat siluet. Tidak jelas itu siapa, apa pula yang dilakukan, tetapi sepertinya, sosok itu membawa sebuah kotak alat musik. Entah apa pastinya.

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang