Jenuh

13 2 4
                                        

Konsep waktu nyaris tidak berlaku bagi Arin. Kalau saja Siti tidak mengingatkannya tiap waktu salat, mungkin Arin sudah kelewat banyak.

Hari Sabtu itu, Arin menangis di kamar rawat sebelum pamit sebentar. Ia harus ke undangan Vanes, lalu esoknya ke Danang, meski sekejap saja. Nuris dan Eugeo mengantar Arin sementara Iskandar dan Siti yang menjaga Ray. Arin dan Vanes, di atas pelaminan, saling berpelukan erat sambil menangis.

"Kukira, aku sudah bisa dengan tenang melepasmu, Rin. Kamu sudah punya pendamping, dan aku sangat mensyukurinya. Tapi ... tapi ...." Vanes sesenggukan.

"Mbak, tetaplah dengan kehidupan Mbak. Enggak usah pikirkan keseharianku lagi. Cukup doakan aku saja," balas Arin sambil terisak.

"Siapa yang akan menyiapkan baju-bajumu di rumah, kalau kamu terus di rumah sakit?"

"Mbak sudah menyiapkan beberapa kloter, 'kan? Tenang saja, Mbak. Sungguh. Aku akan aman."

Sore itu, Arin kembali dalam keadaan pening. Hampir saja ia berseru kaget ketika tiba-tiba ada yang memeluknya.

"Arin!"

Suara perempuan itu terdengar sengau dan terbata-bata.

"Agnes?" Arin mengangkat wajah, dan terlihatlah empat lelaki dan dua wanita di sana, plus Agnes. "Ka-kalian?"

Itu satu grup Mededader, lengkap dengan Sarah, juga Dissa, calon istri Danang. Arin tak pernah merasakan kecanggungan seperti itu sebelumnya.

"Arin, kami minta maaf, dengan sepenuh hati kami." Darto berucap lebih dulu. "Atas ... kelalaian kami, dalam menjaga kalian—"

"Bukan kalian yang salah!" Arin sampai mencengkeram bahu Agnes di sebelahnya. "Setop meminta maaf atas kesalahan yang bukan punya kalian! Aku ... aku bahkan sama sekali enggak ada pikiran ... menyalahkan kalian ...."

Arin berjalan sempoyongan ke arah ranjang, lalu mencengkeram sisi-sisinya. Ia takut. Takut menyentuh Ray. Takut menyadari kalau-kalau tubuh itu menjadi dingin. "Ray, teman-teman kita ada di sini semua. Bangunlah sekarang. Kenapa kamu ... enggak kunjung sadar ...?"

"Sudah berapa hari?" bisik Randi.

"Sejak hari itu ... ini hari apa, aku enggak tahu ... Sabtu, ya? Aku habis dari Mbak Vanes." Arin meracau tak jelas. "Senin sore. Lima hari. Lima hari Ray enggak sadar, ya Allah ...."

"Arin!" Siti, yang sejak tadi duduk, buru-buru menangkap Arin yang tiba-tiba menggelosor. "Arin, istirahatlah dulu. Teman-temannya, silakan, duduk di sini. Maaf, lesehan."

"Enggak perlu minta maaf, Tante," ujar Sarah. "Kami juga cuma sebentar."

"Arin, aku ... aku akan berusaha sering menjengukmu, selama enggak lagi jadwal ...." Agnes sudah berderai air mata. "Arin, kamu kuat. Aku tahu kamu kuat."

"Makasih," jawab Arin pelan. Ia kini tiduran di sofa.

Rombongan itu berlalu, meninggalkan keranjang buah, setelah Agnes, Sarah, dan Dissa memeluk Arin bergantian. Malam kembali turun. Iskandar dan Siti pamit. Giliran Eugeo yang muncul.

Begini terus setiap hari. Arin mati rasa. Ia kehilangan ekspresi. Ia kehilangan gairah. Ia kehilangan semangat hidup. Meski begitu, ia berusaha keras tak menunjukkannya. Arin masih tersenyum ketika Eugeo menghidangkan sebungkus kwetiau goreng di hadapan Arin.

"Gimana caranya kembali berharap?"

Eugeo mengerjap, tampak kaget dengan pertanyaan itu. "Apa?"

"Aku. Aku sudah enggak ada semangat hidup. Aku sudah enggak punya harapan. Kenapa ...." Arin menatap Eugeo. "Kenapa aku masih hidup?"

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang