Penguntit

12 2 1
                                    

Sore yang cerah.

Ray sudah sampai di alun-alun, paling pertama dibanding rekan grup lainnya. Kemarin, mereka sudah berkumpul, lengkap dengan Darto yang muncul terlambat. Mereka sepakat untuk tampil reguler lagi mulai esok hari.

Selama akhir pekan kemarin, Arin selalu berkunjung ke rumah Ray. Hari Sabtu, Arin menontonnya menyelesaikan biola. Hari Minggu, mereka ke danau dan mencoba membuat lagu bersama. Hari yang indah, bisa dibilang begitu, sebelum Senin kembali menghantam dengan realitas.

Sekarang sudah Kamis. Ray tak sabar menanti akhir pekan lagi. Meski begitu, perasaan waswasnya belum hilang. Memang selama dua hari kemarin mengantar Arin pulang tidak ada yang menampakkan diri di sekitar Ray selama ia berjalan ke halte, tetapi ia yakin, itu bukan pertanda baik.

Jim, batin Ray. Kenapa dia memperkenalkan diri? Aku enggak keceplosan sebut nama, 'kan?

"Kenapa mukamu seram begitu?" komentar Eki. "Apa Ray yang lama sudah kembali? Charm dari Arin sudah habis?"

"Charm apaan?" Ray mengernyit.

"Charm, yang bikin kamu jadi kayak Prince Charming," celetuk Agnes yang baru datang. "Ray, serius kalian enggak pacaran?"

"Enggak," jawab Ray tegas, meski hatinya mulai condong. Apa-apaan ini? Ia tidak pernah percaya status pacaran. Teman, atau sahabat, sudah mewakili semua, sebelum ikatan sah.

Nah, lo. Kenapa mikir sampai sana.

"Halo," sapa Arin yang baru datang. Ia tampak mengantuk. "Hari ini ada kerjaan sampai sore, pas sebelum aku ke sini ... hoaahm."

"Kamu enggak kabur dari kerjaan, 'kan?" tanya Ray, memastikan.

"Enggak, lah. Aku tanggung jawab." Arin menepuk dadanya. "Sudah, mau mulai? Aku intro lagi?"

"Darto belum datang," sahut Danang. "Sabar, Rin-Chan!"

"Darimana panggilan itu?" tanya Ray tajam.

Danang hanya cengengesan, disambut tawa kecil Arin.

Darto datang kemudian, tanpa Sarah. Ia berkata ingin mencoba duet gitar sekali-kali.

"Arin bisa gitar," ujar Ray langsung.

"Kenapa kamu semangat banget nunjuk aku?" sahut Arin.

"Emang bener, 'kan?"

Akhirnya, Arin menyanggupi. Besok-besok, ia akan membawa gitar, katanya.

"Kalau bisa gitar, kenapa kamu selalu bawa trombon?" tanya Darto.

Arin nyengir mendengarnya. "Enggak tahu, mungkin karena ... buatku, malam-malam itu cocoknya suara alat musik brass?"

"Kayak gini?" Danang langsung memainkan saksofonnya, sebuah intro lagu Barat yang terkenal saat itu.

Arin kembali tertawa. "Itu cuma intro, 'kan. Kapan-kapan bisa dimainin grup, tuh, kalau aku sudah pegang gitar."

Ray menghela napas. Mengapa pikirannya jadi ke mana-mana begini, melihat Danang selalu menyambut omongan Arin? Ah, lupakan.

Pertemuan berlanjut sampai setelah Magrib, seperti biasa. Jadwal reguler mereka adalah tampil sampai pukul setengah delapan malam. Namun, satu hal yang tidak disangka-sangka terjadi.

Iskandar muncul tiba-tiba. Membawa keranjang, pasti titipan Siti. Satu grup tertegun. Ray terutama.

"Maaf, ada situasi darurat." Iskandar berdeham, terdengar gugup. "Ray, bisa pulang sekarang?"

"A-apa yang terjadi?" Ray langsung bersiaga. "Umi kenapa? Atau ... yang lain? Rumah?"

"Ibumu baik-baik saja. Nih, bisa ngirimin makanan."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang